The Sorry Boys ㅡDaydream」

74 3 0
                                    

"Lo nggak papa ?"

"Ya menurut lo ??"

Ejak mengusap kepalanya kasar, membuat rambut ikalnya sedikit berantakan. Pandangannya teralihkan sejenak ke arah lain, ke arah datangnya bola basket yang baru melesat hampir mengenai wajah cewek di sebelahnya ituyang masih shock atas kejadian barusan. Jika saja refleksnya tidak bagus, sudah dipastikan wajahnya menjadi sasaran empuk bola basket yang penuh dengan debu lapangan itu.

"Cih,"

Masih merasa kaget, walau banyak sebalnyaBriana merapikan poninya yang sedikit tersibak. Wajahnya memerah, saking sebalnya karena lagi-lagi menjadi sasran bola nyasar tiap melewati lapangan. Inilah yang selalu menjadi alasannya takut pada semua bentuk olahraga yang menggunakan bola. Juga anak-anak yang suka memainkan permainan tersebut, karena seringnya anak-anak seperti itu tidak respect dengan orang-orang sepertinya yang sudah berhati-hati tapi masih saja terkena efeknya.

"Si Goblok !"

Umpatan itu menyadarkan Briana, baik nadanya yang kencang maupun pilihan umpatan yang dilayangkan oleh Ejak pada teman-temannya. Briana tidak kenal, tapi dia yakin itu teman Ejak, karena semua anak menyebalkan di sekolahnya sudah pasti antek-anteknya si Ejak. Karena intinya Ejak juga sama menyebalkannya. Jangankan melihat wajahnya, mendengar sapaannya saja sudah membuat Briana sebal.

Dilayangkannya tas selempang ringankhas milik anak-anak tidak niat sekolah yang palingan isinya cuma sebuah buku tulis untuk semua mata pelajaran. Nyatanya sekuat apapun Briana melampiaskan rasa sebalnya, tas selempang tersebut nyatanya tidak cukup sampai untuk memukul bahu Ejak. Tapi setidaknya cukup memecah konsentrasi Ejak yang sedang melempar balik bola basket nyasar tadi.

"Bisa nggak mulut lo tuh"

Ejak mengernyit, belum sempat menyelesaikan kalimatnya Briana lagi-lagi keburu sebal melihat wajah Ejak.

"Tauk ah,"

"Tunggu"

"Gausah ikutin gue." bentak Briana, begitu Ejak menyusul langkahnya menjauh dari lapangan basket dan semudah itu berdiri didepannya. "Gara-gara elo tuh ya gue"

"Gue salah apa lagi sih Bri ?"

.
.
.
.
.
.
.

Dentingan suara sendok dan piring keramik, rintik hujan, dan desis pelan suara Paul Klein terdengar di detik pertama Briana membuka matanya. Netranya mengenali sekelilingnya asing, namun terlalu nyaman untuk dibilang berbahaya. Ini bukan versi terbangun yang baik, apalagi kepalanya terasa pusing. Bukan migrainㅡseperti yang biasa dirasakannya jika terlalau stress dengan tugas. Tugas ? Tunggu, Briana bukan remaja berumur sekolahan yang stress tiap menjelang ujian akhir semester. Briana juga bukan anak kuliahan yang auto stress tiap pengumuman IP di akhir semester.

Briana sekarang sudah bekerja. Iya, ada banyak laporan yang harus diselesaikannya sebelum minggu depan. Dari tugas itu, ada satu yang paling penting. Menyelesaikan urusannya dengan salah satu anggota keluarga kliennya jika ingin tetap bekerja secara profesional.

Tapi sialnya, justru dia malah melakukan hal bodoh dengan mempercayakan versi dirinya yang tidak sadar pada orang yang seharusnya paling dia batasi. Kalau bisa dihindari. Karena memang seharusnya dari awal dia tidak boleh memberikan celah apapun pada orang tersebut.

"Udah bangun, Bri ?"

Sapaan itu membuat Briana menoleh ke arah pintu geser yang terbuka sedikit, menampilkan wajah yang sedari dulu tidak pernah gagal membuat Briana sebal dalam situasi apapun. Demi Tuhan, sebenarnya Briana pun juga takut terlalu sebal pada seseorang. Karena kata orang, semua sewajarnya biar kalau berbalik juga rasanya sewajarnya saja.

recycleーbin 🔄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang