set bounderies

32 2 0
                                    

Dani :
Gw dah samperin Cella td
Tp doi blg brgkt sdiri aj
Yaudh
Tp gw dah kasi titipn lo

Aryan  baru membuka chat Dani, malam setelah meeting berkepanjangan dengan para stakeholder selesai. Aryan refleks mengerutkan dahinya. Bahkan setelah beralih pada chat terakhirnya dengan Marcella yang tidak mengindikasikan bahwa perempuan tersebut menolak ataupun skenario terburuknyaㅡtersinggung.

Aryan mengetikkan beberapa kata, namun dihapusnya kembali dengan cepat. Ini sudah terlalu malam, untuk menanyakan di luar hal-hal penting. Toh ini bukan pekerjaan. Pulangnya Marcella tanpa mau diantar sebagai Daniㅡsebagai ganti Aryan tidak bisaㅡbukan hal besar yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka.

Tapi kenapa rasanya Aryan tidak bisa tenang ? Kenapa fakta bahwa Marcella pulang begitu saja, menolak ide Aryan untuk diantar Dani, tanpa memberitahunyaㅡmembuatnya tidak nyaman ?

Apakah sesulit itu untuk mengabarinya ? Walaupun terlambat sekalipun ? Apakah Marcella begitu pulang harus langsung bekerja hingga tidak sempat melihat hapenya ? Sibuk sama seperti Aryan sendiri yang hari ini penuh dengan meeting ?

Aryan menghela nafas kecil, mungkin dia harus menunggu setidaknya sampai besok pagi. Mana ada orang jaman sekarang yang tidak mengecek hapenya di pagi hari, kan ?

...

"Kalau gitu, nanti Cella kabarin lagi ya kalau sudah ada konfirmasi dari Pak Rajiman."

Marcella mengangguk, merespon kalimat penutup Bu Untari atas laporannya mengenai kerjasama dengan Bank Mandala.

"Oh iya, minta satu lagi Dekㅡ"

Marcella yang sedang merapikan tab dan mapnya, lantas terhenti. Biasanya Bu Untari kalau sudah memanggilnya Dek, itu berarti permintaannya cenderung personalㅡ

"Mintain ke Aryan alamat rumahnyaㅡ" ucap Bu Untari santai.

Sementara Marcella sontak melotot, walau cepat-cepat menguasai ekspresinya. "Ha, alamat ?"

"Iya, nanti kita sowan kesana sambil bawa apa gitu, Dek. Sebagai rasa terimakasih ke Bapaknya Aryan. Kalau bukan karena Pak Antasena mana bisa kita dapet kerjasamaㅡ"

Marcella baru bisa mengangguk begitu memahami maksud Bu Untari setelah menyelesaikan kalimatnya yang ambigu. Tidak se-ambigu itu sebenarnya. Hanya saja jatuhnya ke Marcella bisa sangat ambigu.

Entahlah, Marcella masih canggung dan akan tetap canggung dengan Aryan. Untungnya masa-masa harus berkondinasi dengan Aryan secara intens seperti di Jakarta kemarin sudah berakhir. Ada perasaan lega yang tidak bisa Marcella ceritakan pada siapa-siapa.

Tapi, barusan Bu Untari malah menginginkan dia untuk menghubungi Aryan lagi.

"Nanti kita cari waktu yang pas kapan bisa kesana. Kayaknya sih Ibu bisa kalau akhir pekan iniㅡ"

...

"Nikahan Ersa Sabtu minggu ini apa minggu depan dah ? Gue kayaknya nggak bisa dateng."

Aryan hanya menggumam pelan menanggapi ucapan Dani. Sambil menyesap pelan kopinya, tangannya scrolling snapgram dengan cepat. Tidak berminat terhadap apapun update yang muncul. Hal menarik apa yang bisa diharapkan dari update orang-orang di siang hari Rabu. Kalau bukan tumpukan kerjaan yang tidak kunjung selesai, palingan tentang makan siang. Rata-rata akun yang dia follow temannya sendiri yang kehidupannya tidak jauh berbeda dengannya, 9-to-5 working.

Ada beberapa pengecualian memang, beberapa dari mereka yang pekerjaannya tidak monoton. Biasanya mereka akan update suatu hal yang tidak biasa. Entah tiba-tiba sedang berada di pantai atau pelosok Indonesia yang tidak terjamah, melakukan kegiatan seperti piknik di jam kerjaㅡ yang pastinya membuat orang-orang macam budak korporat seperti dirinya hanya bisa gigit jari.

recycleーbin 🔄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang