"Kita nggak sedekat itu untuk saling mengerti, anda punya kehidupan sendiri, tapi kami, bahkan untuk menyembunyikan privasi harus selalu hati-hati dengan bayang-bayang yang selalu menghantui."
***
Koridor yang dilewatinya sudah sepi, karena jam istirahat telah berakhir dan pembelajaran kembali dimulai. Sekarang kakinya melangkah tanpa beban dan hambatan karena ia bebas melangkah tanpa diganggu ketenangannya.
Saat sampai didepan pintu kelasnya ia langsung masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, itu sudah biasa bagi anak IPS 5. Dan untungnya, kelas itu sedang tidak memiliki guru yang mengajar untuk sementara.
"Lo gapapa?" tanya Dara yang tak ditanggapi Za. Tak ditanggapi oleh Za adalah hal biasa, namun terkadang ia juga tak tahu diri dalam menempatkan ketidakpeduliannya.
"Eh Za, kadang gue heran deh sama lo! Udah di tolongin juga, seenggak-enggaknya kalo gak mau ucapin makasih tu kasih respon sama orang yang bicara aja cukup." Kinar jengkel, dia memang sering berbicara tanpa di filter. Tak peduli itu akan menyakiti hati lawan biacaranya.
Za tak memperdulikan ucapan Kinar, ia lebih memilih berjalan menuju bangkunya dan mulai menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri.
"Lo tahu gak? Gak semua orang sama kayak lo, ada sebagian dari mereka yang bisa bermasalah mentalnya cuma karena nggak ditanggapi, asal lo tahu Za, dicuekin itu sakit." Delon yang berdiri disamping Za bersuara, tak lama ia segera duduk dibangkunya yang berada tepat disebelah kanan Za.
"Karena mereka lemah." ucapan Za tentu saja didengar oleh mereka semua. Ini salah satu sifat yang harus dihilangkan dari Za, rasa tak peduli nya yang terkadang membuat orang lain tersakiti.
"Enak banget mulut lo ngomong gitu? Tahu apa lo soal kita semua hah?!" Tia berteriak, ia hampir saja menerjang Za, namun Virli, sahabatnya langsung menahannya.
"Za, gue tahu lo nggak peduli sama lingkungan sekitar lo. Tapi lo udah kelewatan Za. Gue bela dan baikin lo bukan berarti lo bisa seenaknya kayak gini." Stela menahan amarah, wajahnya menjadi keras bak dinding batu.
"Lagi, mungkin lo emang kuat, tapi cuma karena keluarga kan?" ucap Stela, sedangkan Za yang mendengar itu hanya melihat Stela tanpa ekspresi apapun.
"Lo manusia kan? Seenggaknya gunain sisi kemanusiaan lo walau sedikit." sahut Zela, lebih tepatnya Grazela. Siswi yang termasuk jajaran murid pintar, namun wajahnya tak pernah tersenyum dengan leluasa.
"Gue enggak punya itu, dan nggak bakalan pernah."
Baru saja Kinar hendak bersuara, guru sejarah lebih dulu masuk dan memulai pembelajaran. Mereka tak punya pilihan lain selain kembali ketempat duduk masing masing.
❄️❄️❄️
Bel pulang sudah berbunyi, baik siswa maupun siswi berhamburan keluar dari ruang kelas sekedar untuk menghirup udara segar. Tujuan mereka berbeda-beda, mungkin ada yang langsung pulang ataupun memilih nongkrong bersama teman-teman.
Za memilih untuk keluar terlebih dahulu, bukan tempat parkir tujuan utamanya, melainkan halte bus tempat beberapa anak yang juga memilih menaiki angkutan umum tersebut.
Sesampainya di halte, ia tak ikut duduk bergabung dengan anak anak lain. Ia memilih berdiri sedikit jauh dari mereka. Sudah beberapa bus yang berhenti, namun ia belum menaiki satupun diantara bus-bus itu, sampai bus kelima datang ia baru menaikinya.
Sekitar 20 menit menaiki bus, bus berhenti disalah satu halte yang berjarak lumayan jauh dari sekolah. Za langsung turun setelah membayar ongkosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...