Maaf

3K 203 5
                                    

"Waktu itu datang, kepercayaan yang selama ini digenggam mungkin akan hilang."

***

"Eh dek lo mau kemana?" Zola yang baru saja keluar dari dapur bertanya ketika melihat Gavlen berjalan dan menarik kopernya.

"Healing kak," balas Gavlen sambil tersenyum.

"Lo mau ikut lomba gak lama lagi."

"Karena itu gue mau healing dulu."

"Ada-ada aja lo." Vala menimpuk Gavlen dengan bantal sofa yang ada ditangannya.

"Apa? Lo mau ikut juga?"

"Gak ah, besok kan si.."

"Ya ya ya, nanti ucapin selamat datang gue ke kak Zela yaa." potong Gavlen.

"Tega kamu mas," balas Vala.

"Lebay lo."

"Kak, gue berangkat ya. Papi mami udah tahu kok." Zola mengangguk.

"Hati-hati."

"Pasti."

Gavlen menarik kopernya dan berjalan menuju pintu. Mengabaikan teriakan Vala yang protes karena tak berpamitan dengan perempuan itu.

Jalanan di siang hari tak terlalu padat, oleh karena itu Gavlen bisa sampai di bandara dengan cepat. Ia belum masuk, ia masih menunggu seseorang.

Melihat jam ditangannya, tak lama lagi pesawat akan berangkat.

Gavlen mengeluarkan handphone nya. Mengetikkan sesuatu lalu mengirimnya.

"Kalau lo gak ikut, lo buktiin kalau lo gak pantas dapat posisi itu." gumam Gavlen. Kakinya mulai melangkah memasuki bandara. Jika yang ia tunggu datang, itu akan bagus. Namun jika tidak, ada rasa percaya yang akan hilang pada dirinya.

.

.

.

Di waktu yang sama, Za saat ini sedang berada didalam ruang kerja Nada. Didepannya sudah ada banyak berkas dan juga beberapa rekaman yang bisa dijadikan bukti.

Ini bukan keinginannya, ia selalu menghindari ini. Tapi jika ini takdirnya, ia bisa apa?

"Mungkin bukan sekarang, tapi masa itu akan datang. Ara, maaf."

Mendengar notifikasi di handphone nya, Za segera mengambil benda yang tergeletak dimeja itu. Ini berbeda, hanya nomor nya saja yang masih sama.

Gavlen

Send a picture

Gue masih nunggu lo, kalaupun lo gak bisa sekarang gue bakal pesanin tiket baru.

Besok sore lombanya dimulai. Gue harap lo datang. Kalau gak, lo buktiin kalau lo gak pantas dapat posisi itu.

Za menatap chat itu tanpa minat. Sedari kemarin cowok itu selalu saja mengiriminya pesan. Apa cowok itu tak bisa membiarkan ia tenang sebentar saja?

Ia tak berminat untuk menjadi wakil sekolah sama sekali. Ia tak berminat untuk mengikuti olimpiade itu. Bukan ia yang ingin, tapi sekolah yang memilihnya. Ia pun baru tahu itu kemarin, ketika cowok itu mengiriminya pesan dengan penuh kebencian.

Ia masih ingat bahkan tanpa melihat chat dari Gavlen sekalipun. Bagimana cowok itu menanyakan kenapa harus ia yang terpilih? Bahkan ranpa ikut seleksi sekalipun? dan itu juga bukan bidangnya?

Za tahu, Gavlen marah karena bukan Zola yang terpilih. Zola? Yaa gadis itu.

Maju sebagai duta sekolah bidang Biologi adalah ke ingin Zola. Jangan tanya darimana Za tau itu semua.

My (Bad) Life-ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang