"Semua tepat di waktu yang tepat pula."***
Didalam ruangan 6×8 meter, dua orang perempuan dengan umur yang tak berbeda jauh sedang berbicara dengan serius.Yang satu dengan pakaian bak model sosialita, dan yang satunya lagi dengan pakaian formal sebagaimana pekerjaan menuntutnya.
Ceklek
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang perempuan dengan umur yang sama diantara salah satu dari mereka.
"Na-Nada." Iska berujar tak percaya. Setelah sekian lama ia kembali dipertemukan dengan orang yang sama, namun dengan suasana yang sudah berbeda.
Nada tersenyum tipis, kemudian bergabung dengan mereka. Ia duduk disofa single yang berhadapan dengan Iska.
"Seperti yang sudah saya bicarakan tadi nyonya Iska, beberapa bukti sudah kami kantongi. Dalam waktu dekat kita bisa mengajukan laporan kepihak kepolisian, saya dan rekan saya akan memastikan kali ini kita tidak akan mengalami kegagalan lagi." Tala bersuara.
"Mungkin untuk sementara waktu anda bisa membawa korban kerumah anda untuk meminimalisir kekerasan yang akan terjadi selanjutnya." Nada memberikan saran.
"Jangan bersikap seolah anda tidak mengenal saya Nada." ucapan tajam dilayangkan Iska pada Nada.
"Apa sebelumnya kita pernah mengenal? Saya rasa tidak." sanggah Nada.
"Sepertinya anda sudah lupa, tiga tahun lalu kita bertemu. Namun anda tak memberikan jawaban apapun. Kemudian anda menghilang bak ditelan bumi." Iska berkata dengan penuh wibawa. Tak ada ketergesaan dalam ucapannya.
"Oh iya, saya baru mengingatnya." Nada berkata sambil menganggukkan kepalanya.
"Saya tidak menghilang, hanya saja pekerjaan saya yang membuat saya tak terlalu bebas menikmati dunia luar."
"Oh saya mengerti."
"Lalu, apa anda masih belum punya jawaban atas pertanyaan saya." tanya Iska penuh intimidasi.
"Pertanyaan yang mana ya nyonya? Saya lupa, karena pekerjaan saya juga memberi saya banyak pertanyaan."
"Dimana anak saya?" pertanyaan itu memang dengan nada biasa saja. Tapi jika benar-benar disimak pertanyaan itu bisa saja membelah badan seseorang jika ia berbentuk pisau.
"Anak anda? Bukannya di kasus ini anak teman anda ya nyonya? Lagipula, anda pasti tahu dimana dia."
"Yang saya maksud bukan Zela, tapi anak saya." Iska menatap Nada.
"Anak kandung saya yang kamu bawa lari dua belas tahun lalu." lanjut Iska.
"Saya bawa lari?".Nada sedikit terkekeh.
"Saya tidak membawanya lari nyonya Iska. Anda menitipkannya pada saya bukan? Jadi dia harus ikut kemana saya pergi."
"Oke, lalu sekarang dimana anak saya? Kamu pasti ingat, saya menitipkan anak saya hanya beberapa waktu, tidak untuk selamanya." Iska berkata dan mengangkat sebelah alisnya.
"Maksud anda hanya beberapa waktu itu berapa lama? Tiga tahun? Lima tahun? Tujuh tahun? Sepuluh, lima belas, atau.. seumur hidup?" Nada tersenyum miris dengan ucapannya. Kenangan lama yang tak ingin lagi ia buka, namun bukan berarti akan tetap tersimpan rapi dalam arsip lama.
"Seumur hidup?" gumam Iska tak percaya, ia tak pernah mengatakan seumur hidup pada Nada.
"Ya, seumur hidup. Sampai dia ditelan oleh umurnya sendiri. Anda tahu? Sesuatu yang telah pergi tak kan bisa untuk kembali." Nada berbicara dengan makna tajam, namun Iska sangat pandai menyembunyikan ekspresi wajahnya, wajah yang menolak tua itu masih tenang seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...