"Terkadang, menjauh adalah cara terbaik untuk terhindar dari rasa sakit."
***
"Anak saya akan pulang dengan saya!" tegas Rahel.
"Tidak bisa, Zela akan pulang dengan saya." balas Arga.
"Dia anak saya, saya berhak atas dia."
Arga nampak tersenyum tipis. Tapi bagi yang mengenal Arga pasti mereka tahu apa arti senyuman pria itu.
"Oh ya? Zela anak anda? Apa pernah anda memperlakukannya seperti seorang anak?"
Rahel menatap Arga sinis. Namun tak banyak orang yang tahu. Yang orang-orang lihat mereka banya berdebat biasa saja, namun kenyataannya tidak sesederhana itu.
"Jangan mengajari saya tentang cara memperlakukan anak saya. Coba lihat diri anda, anda gagal menjadi orangtua." balas Rahel.
"Gagal? Lalu menurut anda, anda berhasil menjadi orangtua?"
Rahel diam. Pertanyaan Arga itu tidak bisa ia jawab. Ia sendiripun ragu apa jawaban yang ia punya atas pertanyaan itu.
"Om, aku pulang sama ayah aja. Lagian ayah sama bunda udah jauh-jauh jemput aku kan?" lerai Zela.
"Zela," ucap Iska tidak setuju.
Zela tersenyum lembut.
"Gak papa kok tan, ayah udah jemput aku. Jadi aku harus pulang sama ayah kan?" Zela masih mempertahankan senyumannya.
Tidak mudah bagi Arga maupun Iska untuk melepas Zela pulang bersama orangtuanya. Namun jika Zela yang sudah meminta, mereka bisa apa?
"Anda dengar kan? Anak saya ingin pulang bersama saya dan istri saya." tekan Rahel.
"Sampai saya dengar anda menyakiti Zela, tunggu saja hari kehancuran anda." Arga memberikan tatapan tajam kepada Rahel.
Rahel hanya tersenyum singkat mendengar ucapan pria itu. Ia menatap istrinya yang sudah membawa Zela masuk ke mobil.
Ia sedikit mendekat kearah Arga yang berada disamping mobil pria itu.
"Saya turut berduka atas anak anda."
Arga menaikkan sebelah alisnya. Ia cukup mengerti perkataan Rahel. Namun kali ini makna dibalik ucapan pria itu berbeda. Ada sesuatu yang pria itu ketahui.
Rahel meninggalkan Arga dan memasuki mobilnya. Mobil Fortuner putih itu mulai berjalan meninggalkan lokasi itu.
"Mas, ayo." ajak Iska yang diangguki Arga.
Kali ini Arga tak membawa satupun sopir ataupun bodyguard keluarga. Ia sendiri yang turun tangan menjemput anak-anaknya dengan ditemani oleh Iska.
"Tunggu bentar pi." cegah Zola ketika mobil hendak berjalan.
"Kenapa sayang?" tanya Arga menoleh kearah Zola yang sedang bersandar dan memeluk Iska.
"Bentar aja pi," balas Zola.
"Baju gue tadi mana Va?" tanya Zola pada adiknya.
"Udah gue masukin ke kantong kak, ada dibagasi."
Zola mengangguk, ia tersenyum.
"Kamu nunggu siapa sih Zo?" tanya Iska mengelus surai putrinya. Zola hanya membalasnya dengan senyuman. Ia harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.
"Memang masih ada yang tinggal dek?" Gaven yang duduk disamping kemudi ikut bertanya.
"Enggak kok bang,"
"Mending kita berangkat kak, daripada nanti kemalaman." saran Gavlen.
Zola mengangguk lemah. Ucapan adiknya benar. Namun ada rasa enggan untuk pergi sebelum ia melihat sesuatu yang ia tunggu dengan mata kepalanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...