"Akan ku pasti kan, apa yang telah kurebut akan kukembalikan."
***
Geo tak mampu beranjak dari posisi nya saat ini. Ia termangu menatap gadis yang begitu ia rindukan. Bibirnya bergetar, berharap ini hanya sebuah bunga tidur yang bisa dihentikan.
Namun, ini nyata.
Ia memang berharap untuk menemui Ara-nya, tapi bukan dengan kondisi yang seperti ini. Ia tak pernah membayangkan, bahwa gadis yang ia cinta harus terbaring lemah tak berdaya dengan alat-alat yang memenuhi tubuhnya.
"Ra.. I'm back. Maaf.. Maaf.. Maaf Ara," lirih Geo sembari menundukkan kepalanya mendekati wajah Ara, gadis yang masih saja diam seolah sedang melewati mimpi yang begitu menyenangkan.
"Aku rindu kamu, kamu gak rindu aku?" tanya Geo lirih didekat telinga Ara.
"Aku udah kembali Ra, untuk kamu.. Untuk Ara nya Geo. Kamu gak mau nyambut aku?" meski tak mendapatkan jawaban, Geo tetap tak menghentikan gerakan mulutnya.
"Dulu kamu selalu meluk aku ketika aku datang, sekarang kamu gak mau lagi yaa? Kamu lagi marah yaa? Maaf aku telat tepatin janji aku Ra,"
Hening.
Tak ada balasan yang diterima Geo. Ruangan itu hanya ditemani bunyi elektrokardiogram yang berbunyi teratur.
"Aku bakalan nunggu kamu Ra, disini, selamanya. Sampai kamu mau untuk genggam tangan aku lagi."
Tangan Geo menggenggam tangan yang terpasang infus tersebut, kemudian salah satu tangannya beralih membuka handphone, mengirimkan pesan kepada sosok yang pernah menemani suka dan dukanya.
Seberapapun luka yang ia terima, Geo yakin gadis itu mendapat luka yang lebih berat dari dirinya.
"Maaf Ka,"
.
.
.
Tisu yang sudah bertukar warna itu berserakan dimana-mana. Kamar itu gelap, bahkan sangat gelap. Hanya bagian pojok ruangan yang sedikit bercahaya, itupun temaram.
Dalam keadaan temaram itulah seorang gadis duduk sembari memeluk lututnya sendiri. Rambutnya sudah berantakan. Wajahnya tak lagi karuan.
Dunia ini kejam. Hanya orang-orang beruntung yang bisa bahagia berjalan diatasnya. Dan dia salah satu bagian dari orang yang beruntung itu, mungkin.
Hidupnya memang terlihat sempurna. Kedua orangtuanya sangat menyanginya, saudara-saudaranya begitu menjaganya. Hidupnya berkecukupan, ingin itu ingin ini semuanya terpenuhi. Otaknya cerdas, dia cantik.
Lalu kurang apalagi dia?
Memang tak banyak yang melihatnya. Nyatanya raga yang penuh dengan kesempurnaan itu juga memiliki cacat didalamnya.
Tubuh dari pemilik wajah seperti dewi kecantikan itu nyatanya tak secantik yang terlihat. Tubuh itu lemah, bahkan sangat lemah.
Zola, sedari kecil gadis itu memang hidup, tapi ia seperti mayat berjalan dalam kegelapan.
Tak ada hari yang dilaluinya tanpa rasa sakit.
Tak ada waktu yang terlewat tanpa meminum sakantong obat.
Tak ada waktu dimana ia bisa bebas melakukan apa saja yang ia suka.
Hidupnya terkekang.
Tujuh belas tahun kehidupannya hanya dihabiskan dengan berbagai batasan yang tak boleh dilampaui.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...