"Sama belum tentu satu, dan berbeda tak selalu banyak."
***
Pyaaarr
Vas mahal itu melayang mengenai dinding didepannya. Retak. Hancur. Dan tak mungkin untuk disatukan kembali agar menjadi utuh yang memiliki fungsi.
Sama halnya dengan seorang remaja perempuan, yang hanya bisa menundukkan kepalanya dengan air mata yang sudah membentuk sebuah kolam di kelopak mata. Hal ini bukan lagi kali pertama, dan ia sudah terbiasa. Namun, walau begitu tetap saja hatinya masih merasakan yang namanya 'sakit'.
"SUDAH BERAPA KALI SAYA BILANG! KURANGI WAKTU MAIN KAMU! KAMU LIHAT KAN SEKARANG?! NILAI KAMU ANJLOK ZELA!"
"ATAU KAMU MEMANG MAU SEMUA WAKTU KAMU HANYA UNTUK BELAJAR? SAYA SUDAH MEMBERI KERINGANAN UNTUK KAMU, TAPI MALAH KAMU MANFAATKAN NYA UNTUK BERSENANG-SENANG!"
Zela dengan ragu mengangkat kepalanya. Menatap sang yang masih diselimuti amarah. Sedangkan bundaya hanya diam tanpa berniat untuk membantu sang putri bebas dari amukan sang ayah.
"Aku gak pernah buang waktu belajar aku yah, dimana nya yang ayah bilang main-main? Bahkan aku gak punya waktu walau sebentar untuk itu." lirihan itu membuat siapa saja yang mendengarnya merasakan apa yang dialami oleh gadis itu, namun dua orang didepannya seolah tuli dan juga buta. Bertahun-tahun hidup, namun Zela tak pernah merasakan yang nama nya ketulusan dari sebuah kasih sayang.
"Kamu masih berani jawab?! Mau saya hukum kamu?!!"itu suara bundanya, Mutia.
"Aku bilang enggak pun bunda bakalan tetap hukum aku kan?" kata-kata itu keluar, beriringan dengan air mata yang tanpa diminta menetas dengan deras.
Hidupnya tak sesenang yang orang lain bayangkan. Hidup di keluarga berkecukupan bahkan lebih itu memang ia rasakan, semua fasilitas, sarana dan prasarana untuknya belajar juga disediakan dengan sangat lengkap.
Apapun yang ia inginkan akan dikabulkan, namun dibalik itu semua, tak ada orang yang tahu bagaimana tertekannya ia selama ini dalam topeng ‘kesempurnaan’ yang ia miliki.
Dituntut untuk selalu menjadi yang teratas, dengan nilai yang harus sempurna. Itu sudah ia lakukan. Dari TK sampai tamat SMP ia selalu menjadi yang teratas di sekolah nya. Menyandang dan meraih banyak penghargaan, selalu menjadi juara paralel, menorehkan begitu banyak prestasi, baik akademik maupun non akademik.
Namun, kenapa orangtuanya tak pernah merasa cukup dengan itu semua? Ia juga manusia. Ia remaja. Dan ia seorang perempuan.
Ia ingin merasakan namanya kebebasan. Ia ingin berekspresinya layaknya teman-teman seumurannya, tanpa megenal celah atau pun pembatas yang harus melintang.
"Jangan harap kamu liburan jika nilai kamu tidak naik." ucapan tajam itu melayang dari ayahnya, Rahel. Seorang pengusaha yang sukses dan terkenal di Indonesia.
"Nilai aku cuma turun 0,5 yah."
"0,5 itu berharga Zela. Saya tak peduli, nilai kamu harus lebih dari target untuk lulus tahun ini." setelah mengatakan hal itu, Rahel langsung meninggalkan Zela, begitupun dengan Mutia yang mengikuti suaminya.
Zela terduduk dilantai dingin nan mengkilap itu. Tatapannya sayu. Air matanya luruh tanpa bisa ia cegah.
0,5. Nilainya hanya turun sedikit, itupun karena ia terkadang melamun saat jam pelajaran. Perasaannya tertekan, namun tak ada tempat untuk berbagi semua keluh kesahnya.
Sejak SMA, ia tak lagi menempati juara umum paralel. Bahkan juara satu dikelas saja tidak. Benar, semakin kita bergabung dengan orang-orang pintar, maka semakin kita tahu seberapa jauh diri kita tertinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Novela JuvenilIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...