Satu

2K 165 15
                                    

Sabrina memoleskan lip tint warna merah ceri tipis-tipis sambil mengoreksi penampilannya hari ini lewat kaca kecil yang disimpannya. Hari ini, Ibu dan Ayah sepakat mengajaknya untuk bertemu dengan keluarga Adinata di sebuah restoran bergaya sunda yang berada di kawasan Cikarang untuk keperluan 'perkenalan'. Tiga bulan yang lalu, untuk pertama kalinya, Farah—ibunya—memperkenalkan seorang laki-laki yang menjadi sulung keluarga Adinata. Bukan sebuah perkenalan tatap muka, hanya lewat cerita.

"Dek, Ibu sama Ayah nggak mau maksain kamu. Ini cuma tawaran. Kalau kamu sekiranya tertarik buat kenalan sama anaknya Om Adrian, kita bisa atur perkenalannya nanti. Ini bukan perjodohan ya, kamu boleh nolak kalau memang nggak sesuai. Ibu sama Ayah selalu dukung keputusan kamu," ucap Farah kala itu. Sabrina tadinya menolak ide itu mentah-mentah. Rasanya ia belum siap untuk membuka hati, meski sudah ratusan hari dihabiskan untuk menata diri.

Namun makin sering dipikirkan, Sabrina makin berubah pikiran. Ia harus kembali berjalan, setelah sebelumnya lama terdiam.

Lagipula, Ibu dan Ayahnya tidak mungkin memberikan 'calon' yang asal-asalan, kan?

Buang semua pikiran klise mengenai perjodohan berkedok mengincar harta. Keluarga Emran—ayahnya—sudah tergolong kaum menengah keatas. Begitupula di sisi Adrian, pria itu bahkan punya BMW putih terparkir di garasinya.

Adrian adalah teman masa kecil Farah. Ide perjodohan ini awalnya diusung oleh Adrian, yang menginginkan sulungnya untuk bersama dengan bungsu keluarga Emran. Farah dan Emran pikir, pada awalnya, itu hanya gurauan belaka. Namun siapa yang sangka, kalau pria itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya?

Dan tibalah hari saat Sabrina, dengan segala pertimbangannya, berkata 'iya' untuk dipertemukan dengan putra pertama Adrian itu.

"Adek udah siap?" Emran menoleh dari ruang kemudi, menatap putrinya yang nampak cantik dengan kemeja putih dan celana jeans biru.

Sabrina mengangguk.

"Yuk, turun. Om Adrian udah nyampe, nih Ibu dikasih nama saungnya." Ajak Farah yang bergerak keluar dari mobil.

Mereka pun berjalan beriringan menuju saung yang disebutkan oleh Adrian lewat whats app.

"Adek gimana perasaannya?" tanya Emran yang berjalan sambil merangkul anak perempuan satu-satunya itu.

"Apasih, Ayah! Aku kayak mau dianter ke nikahan aja!" protes Sabrina yang disambut gelak tawa oleh Emran.

"Menurut Ayah, mukanya Dio sih oke. Cuma nggak tahu dalemnya gimana, kamu yang nanti kenalan."

Kalau Emran sudah berkata 'tampangnya oke' berarti cowok itu masuk ke golongan cowok ganteng. Pria itu tak pernah secara gamblang memuji seseorang, jadi kalimat-kalimat terpendam begitu yang menjadi andalannya.

Mereka pun sampai di saung yang bersentuhan langsung dengan danau buatan dan dikelilingi tanaman hijau yang menambah kesan asri restoran ini. Di sana, Adrian beserta Ranti—istrinya—sudah menyambut dengan senyum.

Sabrina berjalan mengekor dibelakang kedua orang tuanya sambil menunduk karena malu. Gadis itupun mencium punggung tangan Adrian dan Ranti sebagai tanda sopan santunnya.

Keduanya pun mempersilakan keluarga Emran untuk duduk santai di tempat yang sengaja dibuat seperti lesehan. Mata Sabrina berpendar, dimana anak laki-laki yang katanya mau kenalan itu?

"Dio kemana, Ti?" tanya Farah yang mewakili pertanyaan yang Sabrina ajukan dalam hati.

"Ohh, dia ke toilet sebentar... Nah, tuh anaknya udah dateng."

Kontan, Sabrina mengarahkan pandangannya sesuai arah kepala Ranti.

Hah... Ini serius?????

Apa yang baru saja ditangkap oleh kedua bola matanya benar-benar sukar dipercaya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi nan berisi dengan kemeja biru dongker press body yang menunjukkan bisepnya secara jelas itu kah yang disebutkan tadi?

Sabrina celingak-celinguk lagi. Siapa tau saja, yang namanya Dio itu ada di belakang cowok ganteng itu.

Namun nihil. Lelaki yang membuatnya mengerjap-ngerjap mata saking tak percayanya itu positif bernama Dio, putra pertama pasangan Adrian dan Ranti. Hal ini dibuktikan dengan Dio yang langsung datang dan menyalami kedua orang tuanya sambil menunjukkan gestur sopan.

Dio wangi, Sabrina akui itu menjadi nilai lebih untuk first impression. Bau parfumnya saja bahkan sudah tercium sesaat setelah kakinya melangkah masuk.

Lelaki itu melempar senyum kala mereka beradu pandang.

Dio mengulurkan tangannya, "Halo." Sapanya ramah.

Sabrina menyambut uluran tangan itu kikuk, "I-iya, halo, Mas."

Eh kok malah dipanggil Mas?! Yaudah dah, gapapa, mukanya keliatan lebih tua juga dari gue, batin Sabrina.

"Bang, Papa sama Mama tinggal ya. Nggak enak kan kenalan ada yang nguping, kita di saung Kenanga. Kalian berdua disini aja, pesen sepuasnya. Kita orang tua mau ngobrol-ngobrol santai," ucap Adrian seraya bangkit, diikuti oleh ketiga orang tua lainnya.

Tanpa meminta persetujuan, dua pasang suami istri itupun segera meninggalkan Sabrina dengan Dio yang sama-sama terkejut akan aksi orang tua mereka yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang