Satu minggu setelahnya, setelah Sabrina dinyatakan sembuh total dari sakitnya, gadis itu kembali berinisiatif mengajak Pramudio untuk datang ke Puncak. Pramudio sudah datang sejak pukul delapan pagi, padahal Sabrina memintanya untuk menjemput pukul setengah sepuluh. Hari ini, rencananya selain makan indomie with view di Warpat, mereka akan jalan-jalan ke kebun teh Gunung Mas dan pulang malam untuk nongkrong di Cimory Puncak sambil memandang kagum city light.
Pramudio itu orangnya penuh perencanaan. Sebelum berangkat kemarin, mereka telponan sampai tiga jam cuma buat nentuin disana mau kemana aja, naik apa, pulang jam berapa, izin orangtua gimana. Yah, syukur sih, karena Sabrina orangnya nggak bisa seteratur itu. Mungkin karena perbedaan umur dan pengalaman juga, jadi Pramudio terkesan lebih matang.
Sabrina baru turun dari kamarnya di lantai dua jam sembilan pagi, setelah digubrak-gubrak Athala setengah jam, akhirnya dia bangun dan siap-siap juga.
"Adek kalau nggak mau bangun juga, Abang minta Dio yah yang kesini?"
Sabrina dengan mata yang masih tertutup melambai-lambaikan tangannya di udara, "Sana sana! Terserah!" balasnya tak peduli karena omongan Athala terdengar samar-samar di telinganya.
"Oh, bener? Dio udah bisa liat muka kamu yang ileran itu ya?" ancam Athala yang akhirnya membuat Sabrina membuka matanya sempurna.
Gadis itu buru-buru duduk, mengucek-ucek mata dan mengusap sudut-sudut bibirnya.
Kering.
"BANG ACA! AKU NGGAK ILERAN YAH!" omelnya melotot galak.
Athala tertawa seraya mencubit lengan atas Sabrina pelan, "Tapi tetep jelek. Buruan mandi, Dio udah nunggu di bawah." Perintah Athala melempar handuk warna oranye dengan bordir tulisan 'SABIW' warna hitam yang merupakan hadiah ulang tahun Sabrina ke lima belas tahun pemberian almarhumah neneknya.
"Abang Aca kalau sampe bohong, aku kuras beneran saldo ATMnya," kata Sabrina keras kala Athala mulai menghilang dari ruangan kamarnya.
Pramudio ternyata tengah kumpul bersama Ayah dan Abang Aca, membahas mobil keluaran terbaru mana yang menurut mereka paling worth the price. Sabrina yang tak paham pun memilih berlalu ke dapur, duduk di meja makan sambil menyomot sepotong roti gandum dengan selai cokelat yang ada dibalik tudung saji.
Sekitar sepuluh menit setelahnya, Farah yang baru saja kembali dari membeli sayur pun menatap putrinya sambil geleng-geleng kepala, "Adek! Kok ditungguin malah santai-santai disini?!" semprotnya menaruh belanjaan di meja dapur.
"Ditungguin siapa?" tanya nya acuh.
"Mas Dio udah dateng dari jam delapan!"
"HAH?!"
Sabrina terpekik kaget hingga hampir tersedak. Ia terdiam, mencoba menganalisis raut wajah Farah, menebak apakah wanita itu tengah bercanda atau serius dengan ucapannya. Namun berulang kali ia meyakinkan diri bahwa Farah hanya bergurau, tetap tak nampak guratan bercanda di wajahnya.
Sabrina buru-buru meneguk air mineralnya dan ngibrit kembali ke ruang tamu untuk menemui Pramudio yang ternyata tinggal sendirian.
"Loh? Abang sama Ayah kemana?"
"Baru aja pergi, mau nyari lontong sayur katanya."
"Mas Dio nyampe jam berapa?"
"Baru aja kok hehe."
Sabrina menatap Pramudio penuh selidik, "Kata anak-anak twitter, kalau bohong nanti bokongnya kelap-kelip!" katanya seraya menunjuk Dio dengan telunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...