Enam

724 133 5
                                    

Sabrina menarik nafasnya dalam. Kedua tangannya yang dingin dikaitkan satu sama lain, mencoba mengurangi gugup yang seperti menguasai tubuhnya sore hari ini. Bahkan ia beberapa kali menelan ludah sambil mondar-mandir di depan cermin besar yang terletak di dalam kamar kecil di sebuah restoran steak yang terletak di salah satu mall di pusat Jakarta.

Entah apa yang mesti membuatnya gugup; bertemu kembali dengan lelaki itu setelah sekian lama, atau memikirkan nanti kalau pulang malam ia harus menelepon siapa untuk menjemput. Orang rumah tak ada yang tahu ia pergi ke sini, yang mereka tahu hanya Sabrina pamit untuk ikut reunian bersama teman-teman SMP-nya.

Jarak antara mall tempat berlangsungnya acara dengan rumah Sabrina lumayan jauh. Mungkin ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh kilometer?

Tadi, ia kesini dengan ojek online karena kebetulan siangnya ada agenda di perpustakaan nasional.

drrt drrt drrt

Ponsel dengan logo apel digigit berwarna gold itu bergetar di dalam tas kecil berwarna cokelat milik Sabrina. Gadis itu pun merogoh tasnya lumayan dalam untuk mengeluarkan benda pintar itu dari dalam sana.

Ada sebuah panggilan masuk dari kontak yang ia beri nama 'Rania', teman sebangkunya selama tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama sekaligus sahabat paling terdekatnya.

"Halo?"

"NYETT, LO DIMANA?!" tanpa salam pembuka maupun tutur kata yang lemah lembut, Rania memulai percakapan.

Sabrina menjauhkan ponselnya dari telinga saking terkejutnya diteriaki secara tiba-tiba, "Gak usah teriak-teriak dong, monyet. Gue nggak budek," protesnya yang disahuti kekehan oleh Rania di seberang sana.

"Sorry deh heuheu. Lo dimana? Gue udah nyampe nih, tapi nggak ada lo."

"Gue di toilet. Sebentar nih gue keluar, lagi make lipstick."

"Okedeh, gue tunggu yaa. Gue sengaja nge-tag tempat yang lo pasti bakalan berterimakasih nantinya,"

"Ran, monyet, jangan macem—"

tut tut tut

Rania memutuskan sambungannya secara sepihak.

"Aish, sialan." Umpat Sabrina yang tahu rencana apa yang akan dijalankan sahabatnya itu di sana.

Sabrina pun segera merapikan barang-barangnya yang berserakan di atas meja wastafel kemudian melangkah dengan hati-hati sambi mengamati situasi juga kondisi. Banu selaku ketua pelaksana reuni non resmi tahun ini sengaja memesan meja di outdoor. Alasannya simpel, banyak yang merokok.

Empat sampai lima meja yang masing-masing berisikan enam kursi itu kini sudah hampir terisi penuh. Padahal tadi waktu Sabrina baru saja sampai, dua meja masih kosong melompong. Apa selama itu ia mencoba menenangkan diri?

Dilihat dari kejauhan sih, lelaki itu belum muncul... atau tidak muncul samasekali seperti tahun lalu?

Menyadari hal itu membuat Sabrina dapat sedikit bernafas lega. Lagipula, kalau memang datang, lelaki itu biasanya datang terlambat. Jadi mungkin ia bisa pamit pulang duluan sehingga tak berlama-lama terjebak di ruang yang sama dengannya.

Sabrina pun kini melangkah dengan percaya diri. Ia membuka pintu kaca yang membatasi ruangan indoor dengan outdoor seraya tersenyum lebar.

Namun baru saja ia melepaskan dorongannya dari gagang pintu...

"Eh, aduh, kirain mau ditahan. Gue baru mau ikut nyelip,"

Suara itu.

Kontan Sabrina berhenti melangkahkan kaki dan memutarkan badannya.

Dia disini.

Aryo Daffa Mahalini, laki-laki berusia 22 tahun dengan rambut hitam pekat dan bola mata hitamnya yang terlihat kelam mengintimidasi.

Bongkahan es yang berhasil diluluhkan Sabrina dalam kurun waktu tiga tahun dan harus direlakannya bahkan sebelum sempat digenggam.

Daffa, disini.

**

Setelah perdebatan alot yang panjang tentang dengan siapa Sabrina diantar pulang, akhirnya Rania dengan suaranya yang lantang keras berpendapat Sabrina harus pulang bersama dengan Daffa malam ini. Acara reunian bubar pada pukul 19:00 malam, hal ini karena besok adalah hari Senin dan banyak di antara mereka yang harus kerja.

Rumah Daffa hanya berjarak dua kilo meter dari rumah Sabrina. Entah takdir Tuhan kenapa begitu lucu di pikirannya.

Lelaki itu mengendarai motor tingginya untuk sampai kesini. Sabrina awalnya menolak dengan alasan tak membawa helm, tapi Daffa dengan senyum tipisnya berkata ia membawa helm tambahan yang selalu nangkring di jok belakangnya.

Malam itu, ditemani sinar rembulan mereka berkelana membelah jalanan Jakarta.

"Nggak dijemput, Sab?" tanya Daffa setengah berteriak karena berbicara saat motornya tengah melaju kencang.

Sabrina memajukan tubuhnya sedikit, "Hah? Kenapa?"

"Nggak dijemput?"

"Ooh, dijemput siapa?" ia malah balik bertanya.

Daffa tertawa dibalik helm full face hitam yang melindungi kepalanya, "Sama siapa ajaa... Abang, atau mas pacar, mungkin?"

Sekelebat bayangan Pramudio mendadak muncul di pikiran Sabrina tatkala Daffa menyebutkan 'mas pacar'. Haduh, apaan sih Sabrina, mas pacar mas pacar, kayak Mas Dio mau aja sama lo! Batinnya sambil geleng-geleng kepala.

"Ohh, nggak."

Daffa pun hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu, Daffa tetap diam sampai motornya berhenti tepat di depan rumah Sabrina. Perjalanan mereka memakan waktu sekitar 45 sampai 50 menit karena jalanan lumayan ramai tadi.

Sebelum Sabrina turun dari atas motor, tangan sebelah kiri Daffa terlebih dahulu terulur. Satu tindakan yang membawa bah kenangan akan kebiasaan yang selalu dilakukan lelaki itu dahulu.

Sabrina memandang tangan itu ragu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Daffa.

Daffa ikut turun dari motor karena ia harus mengikat kembali helm yang baru dilepaskan Sabrina ke jok belakangnya.

"Lo ngapain bawa-bawa helm dua?"

Dalam hati ia berharap bahwa Daffa sudah mempersiapkan diri untuk mengantarnya pulang.

"Oh iya, soalnya cewek gue suka minta dijemput tiba-tiba. Jadi gue taro sini aja lah sekalian,"

Tapi yang keluar dari mulut Daffa adalah kalimat yang menghantam perasaannya hingga terasa ke ulu hati.

Matanya mulai memanas, dadanya penuh sesak. Sesaat sebelum air mata di pelupuk Sabrina turun, Pramudio keluar dari dalam rumahnya dengan raut wajah bertanya-tanya.

"Eh, Sabrina baru pulang ya. Aku tadi kesini—"

bruk

Sabrina secara tiba-tiba memeluk tubuh tegap Pramudio seraya menyembunyikan tangisnya, "Mas Dio jangan pulang dulu." Katanya pelan namun masih bisa terdengar oleh Daffa.

Pramudio masih mematung di tempat, sedang Daffa tersenyum miring sambil membuang muka melihat pemandangan yang tersaji di depannya.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang