Delapan belas

564 104 9
                                    

Sabrina terpaksa harus kembali ke rumahnya setelah mendapat telepon dari Athala untuk segera pulang karena lelaki itu berkata sudah sampai rumah. Padahal tadi Athala bilang kalau ia akan pulang telat, tapi kenapa di waktu yang menunjukkan pukul 17:53, Athala ngotot minta Sabrina yang sedang asyik menghibur diri di taman komplek untuk kembali?!

Setelah dianggap adik oleh Pramudio tadi, gadis itu kesal bukan main. Ya memang sih, Pramudio selama ini belum secara gamblang meminta Sabrina untuk jadi pacarnya, tapi memang di umur yang sudah tak remaja lagi ini, masih butuh tembak-tembakan apa?

Kan yang penting sudah tahu isi hati satu sama lain!

Sabrina menendang batu kerikil yang ia temui di jalan dengan emosi. Kakinya dihentak-hentakan lantaran kesal, teringat dengan ucapan Pramudio tadi.

Cih, emang dia pikir juga selama ini gue mau diajak jalan terus cuma biar dia punya adek dua?! Kan nggak!

Sabrina mengusap wajahnya kasar, "AAAAKKK PUSING!!!" keluhnya masih mengunyel-unyel wajah sendiri.

"Eh ya Allah, maghrib begini emang sih katanya rawan jurig." Terdengar suara yang familiar menelusup telinga Sabrina. Detik berikutnya bahunya diguncang-guncang dan kedua tangannya dijauhkan paksa dari wajah, "Sabrina? Kamu masih Sabrina bukan?"

Itu Pramudio, yang tengah khawatir Sabrina kemasukan sesuatu karena tingkahnya aneh. Lelaki itu memperhatikan Sabrina dari jauh sejak tadi. Gadis itu menghentak-hentakan kaki, berjalan menunduk sambil menendang tiap batu kerikil yang ditemukannya, lalu mengarahkan kepala ke atas dengan ekspresi emosi yang ketara.

Sabrina mengerjapkan matanya, "Mas Dio?" cicitnya tak percaya dengan sosok tampan yang menatapnya penuh khawatir itu.

Pramudio mengangguk, "Iya, ini aku. Kamu siapa?"

Sabrina menepis cengkraman Pramudio di bahunya, "Apasih! Aku Sabrina lah! Adiknya Mas Dio. ADIK. A-D-I-K."

Tawa Pramudio pecah kala Sabrina mengeja kata 'adik' dengan mata melotot dan raut wajah penuh amarah. Lelaki itu mengelus kepala Sabrina ringan, "Iya, Adik."

Sabrina memasang wajah masamnya sambil membuka pager dengan kunci yang ditaruhnya di saku celana jeansnya. Sedang Pramudio kembali ke mobilnya, untuk mengambil barang yang ketinggalan, katanya.

Sabrina melipat kedua tangannya di depan dada seraya memperhatikan gerak-gerik Pramudio di sana.

"Mas Dio, masih lama nggak?" tanya nya setengah berteriak.

Kepala Pramudio keluar, "Iya, sebentar. Kenapa?"

"Aku tinggal ya, mau buka pintu dulu."

"Iya, tinggal aja."

Sabrina melenggang pergi meninggalkan Pramudio dan urusannya yang entah apa disana. Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan tamu rutinannya itu untuk masuk. Karena Bi Isah sudah pulang, maka ia yang mesti bergerak untuk membuat minuman, menyajikan kudapan sebagai tanda sopan santunnya sebagai pemilik rumah.

Pramudio akan selalu minta air mineral dingin ketika bertamu ke rumahnya. Lelaki itu tak begitu suka minuman manis ataupun kopi. Ia akan meminumnya ketika ingin saja.

Suara gerasak-gerusuk dari ruang tamu terdengar sampai ke dapur saat Sabrina tengah menyiapkan jamuannya, "MAS DIO?!" panggil Sabrina berteriak.

"Hadir." Suara Pramudio menggema.

Selang beberapa menit, Sabrina kembali dengan segelas air mineral dingin dan sekaleng biskuit monde di atas nampan warna putih dengan motif batik.

"Kok berisik bang—"

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang