Empat

820 134 7
                                    

Baru sekitar seratus meter camry hitam Pramudio melaju dari kafe yang berada di kawasan Tebet, hujan tiba-tiba turun deras mengguyur bagian selatan kota Jakarta. Jalanan yang tadinya masih dipadati pengendara motor mendadak sepi. Para pengendara roda dua kompak menepi. Ada yang berhenti sekadar tuk memasang jas hujan, ada yang menunggu hingga hujan reda.

Namun tak jarang juga para pengendara motor itu berhenti di sembarang tempat, atau di pinggiran jalan yang jelas-jelas akan menghambat.

Pramudio menyetir dalam diam dengan lagu milik Slank yang berjudul Ku Tak Bisa mengalun lewat radio yang diputarnya. Pramudio suka berkendara ditemani musik, sesekali ia bahkan bersenandung kecil.

Sabrina yang sudah menghabiskan energinya seharian ini mendadak diserang rasa kantuk yang sulit untuk ditahan. Gadis itu beberapa kali menepuk-nepuk pipinya, meminta agar tetap sadar. Kalau Athala yang tadi menjemputnya, sudah dapat dipastikan ia tidur sampai ke rumah.

Tapi hari ini Pramudio yang datang..

Gagal sudah rencananya.

Pramudio melirik gadis itu dari ekor matanya kala mobilnya berhenti di belakang zebra cross, menunggu giliran lampu hijau.

"Kalau ngantuk tidur aja, Sab." Ucapnya dengan tangan yang sibuk gonta-ganti channel radio.

Sabrina menoleh, "Aku nggak ngantuk kok, Kak."

"Kak?" cicit Pramudio yang heran karena baru saja dipanggil 'kak'.

"Kak?" Sabrina malah balik bertanya.

"Kamu tadi manggil Kak."

Baru ketika Pramudio memberikan penjelasan, Sabrina melek sepenuhnya, "Hah? Oh, iya maaf, aku beneran ngantuk ternyata." aku Sabrina.

Pramudio tertawa renyah.

"Tidur aja nggakpapa."

....

Hening.

Sabrina tak lagi menyahut.

Pramudio pun mengarahkan kepalanya ke samping, penasaran dengan kegiatan yang tengah Sabrina lakukan.

Tidur.

Gadis itu kini sudah tertidur dengan kepala yang disandarkan pada air bag yang ada di sisi pintu.

**

"Sabrina.. Adek.. Bangun dek, udah nyampe," dalam keadaan setengah tertidur, Sabrina mendengar suara berat Athala yang memanggil-manggil namanya.

Tak lama, tepukan di pipi sebelah kanan dan kiri menyusul.

Sabrina perlahan membuka mata. Yang tersaji di hadapannya adalah Athala, yang tengah menatapnya dengan raut wajah khawatir. Tentu saja khawatir. Karena berkat adik perempuannya yang tertidur dan sulit dibangunkan itu, Pramudio jadi tertahan kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Athala jujur merasa tak enak, tapi Pramudio berkata, "Nggakpapa, Bang. Atau aku tinggal mobil disini? Besok balik lagi ngambil,"

Kebetulan rumah mereka masih berada di satu kelurahan, hanya beda perumahan yang jaraknya sekitar tiga sampai empat kilometer. Yah, kalau jalan kaki kira-kira tiga puluh menit cukup.

"Adek, abang udah nggak bisa gendong adek lagi. Yuk, bangun, kasian Dio nunggu kamu jadi nggak pulang-pulang." Kata Athala berkata dengan lembut.

Sabrina mengucek-ucek matanya.

"Mas Dio? Mana? Ini di mana?"

"Di rumah kamu, Sabrina. Nih aku disini,"

Sabrina kontan menoleh ke kanan. Tepat di sampingnya, Pramudio tengah menyandarkan kepalanya di setir dengan pandangan terpaku pada gadis itu.

Sabrina yang kaget pun refleks menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan. Haduh, kenapa bisa-bisanya dia selalu melakukan hal yang malu-maluin di depan Pramudio, sih?! Benar-benar turun harga deh jadinya!

Athala menepuk jidat melihat kelakuan adik perempuan satu-satunya itu. Kalau dia jadi Dio sih sudah fix lewat aja sama yang begini!

"Abang, sanaan aku mau keluar!" usir Sabrina pada Athala yang menurutnya menghalangi jalan untuk keluar.

Athala menggerutu, "Daritadi dibangunin susah banget!"

"Berisik! Sana!" omel Sabrina seraya mendorong tubuh Athala menjauh.

"Mas Dio aku duluan ya, makasih banyakk!" pamit gadis itu yang langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan hoodie jacket yang masih membalut tubuh yang hanya memiliki tinggi seratus lima puluh delapan sentimeter itu.

Pramudio terkekeh melihat hoodie jacket yang biasa hanya sepinggangnya, kala dipakai Sabrina bisa mencapai lutut.

"Dek! Astaga, jaket orang dibawa kabur aja..." Athala berucap sambil geleng-geleng kepala, "Dio, besok gue balikin ya jaketnya. Makasih dan sorry banget jadi ngerepotin lo gini. Besok-besok, kalau dimintain Ibu jemput Sabrina, tolak aja nggakpapa. Kasian lo juga capek baru balik kerja langsung jemput bocah itu main sama temen-temennya," Athala menambahkan.

Dio manggut-manggut, "Santai aja, Bang. Sekalian tadi ada kerjaan di deket sana sih, jadi searah."

"Okedeh kalau gitu, sekali lagi makasih yaa Yo."

"Iya, Bang Thala, sama-sama."

***

"IBUUU, MASAKAN ADEK UDAH JADI!!! MAKAN YUUK!!" Sabrina berteriak dari arah dapur, agar Farah—ibunya—dapat mendengar suaranya meskipun wanita itu berada di teras depan.

Sabrina hobi memasak. Tangannya seakan sudah diciptakan untuk meracik berbagai bumbu menjadi suatu masakan yang lezat. Bermodalkan resep di google, atau buku dan majalah, ia bahkan dapat membuat suatu hidangan yang belum pernah dicobanya sekalipun.

Hari ini, sesuai permintaan Ayahnya, ia memasak ayam penyet cabe hijau. Makanan yang lagi digandrungi belakangan ini. Biasa, Ayahnya ini emang suka kemakan trend kekinian. Katanya sih, biar tetap update dan merasa seumuran sama anak muda.

Kakak laki-laki dan Ayahnya masih ada di kantor, karena sekarang masih jam tiga sore. Mereka baru akan pulang saat waktu kerja usai, sekitar jam lima sore. Dan sampai di rumah empat puluh sampai lima puluh menit kemudian, tergantung keadaan jalanan.

"Ibu—" omongan Sabrina tergantung lantaran wanita itu terlihat tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.

"Nggakpapa say, ini aku suruh Sabrina anter yah kesana. Hitung-hitung udah ngerepotin Dio kemarin,"

Mata Sabrina membesar. Dio lagi?!

Bukan apa-apa, tapi baru saja kemarin dia bertemu sekaligus mempermalukan diri sendiri di hadapan Pramudio Putra Adinata. Apakah sekarang harus diulang kembali?

Tak lama, Farah pun menutup teleponnya dengan salam dan senyum yang secerah mentari pagi ini. Melihat itu bahkan membuat Sabrina bergidik ngeri. Apa lagi kemauan Ibunya kali ini?

"Adek, anter ayam penyet ke rumah Mas Dio mau yah? Kata Tante Ranti dia nggak masak hari ini," bujuk Farah dengan tatapan memohon.

Sabrina melotot galak, "Nggak mau! Aku banyak tugas, nanti suruh Abang Aca aja yang anter." Tolaknya mentah-mentah.

Farah meraih tangan putri kesayangannya itu, "Adeeekk... kalau nunggu Abang Aca, nanti keburu kena maag mereka semua. Yuk sekarang yuk."

Sabrina hampir tertawa mendengar ucapan Farah yang terkesan bergurau itu.

"Sekalian adek balikin jaketnya Mas Dio. Kemarin main kabur-kabur aja, sekarang tanggung jawab,"

"Katanya Abang Aca yang mau anter?!"

"Sibuuuk, Bang Aca sibuk. Adek kan bisa, kenapa ngandelin Bang Aca terus, sih?"

"Tapi Bu—"

"Nanti Ibu beliin adek boneka tuyulnya Day6 kalau mau nganterin ayam penyet ke rumah Mas Dio."

Ah, Farah memang selalu bisa memenangkan perdebatan lewat penawaran yang tak mampu ditolak oleh Sabrina.

"Deal!"

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang