Enam belas

579 109 12
                                    

Sabrina mengayun-ayunkan tangannya yang digenggam erat oleh Pramudio sepanjang perjalanan menuju parkiran. Senyum tak kempis tercetak di wajahnya, perutnya serasa akan meledak penuh desakan kupu-kupu. Beberapa kali gadis itu menoleh, untuk sekadar menatap side profile Dio yang nampak rupawan di tengah gelap malam.

"Kamu seneng banget kayaknya." Celetuk Pramudio yang sadar akan gelagat Sabrina yang tak biasa.

Sabrina menoleh seraya tersenyum hingga matanya menyipit, "Iya soalnya aku udah makan, jadi seneng kalau perutnya full." Ungkap Sabrina tak sepenuhnya jujur. Dari seratus persen alasan kenapa ia senang, dua puluh persennya adalah karena perutnya terisi penuh, sementara sisanya karena Pramudio malam ini baru saja membuat pengakuan sekaligus menceritakan kisah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Sabrina, bahkan dalam khayalan tertingginya sekalipun.

Pramudio balas tersenyum.

Mereka pun sampai di parkiran. Sebelum Pramudio bergerak merogoh dompet, Sabrina terlebih dulu menyambahi si juru parkir ber-rompi oranye terang itu seraya menyerahkan satu lembar uang dua puluh ribuan.

"Gede banget Mbak uangnya. Nggak ada uang pas?" tanya si juru parkir yang kira-kira berumur tiga puluhan tahun itu.

Sabrina menggeleng seraya tersenyum, "Ambil aja kalau gitu Bang kembaliannya." Jawab Sabrina masih mempertahankan wajah sumringahnya.

Sang juru parkir menautkan kedua alisnya, "Eh? Bentar Mbak, ni saya tuker aja ke warung," ucapnya nampak tak percaya dengan jawaban Sabrina.

Sabrina buru-buru mencegah lelaki berambut cepak itu, "Eh Bang, beneran itu. Ambil aja, buat abang semuanya," Sabrina menggantungkan kalimatnya lalu perlahan-lahan mendekat pada si juru parkir, "Saya baru jadian soalnya hehe doain langgeng." Lanjutnya mengecilkan volume suara sambil tersipu setelahnya.

Lelaki dengan topi hitam yang dipakai terbalik itu kontan mesem-mesem seraya melirik Pramudio yang berdiri tak jauh di belakang Sabrina. Lelaki itu bergantian melirik Pramudio dan Sabrina, menampakkan wajah menggodanya, "Pantesan! Iya deh Mbak, saya doain langgeng sampe apa tuh kata orang-orang jaman sekarang... maut yang memisahkan,"

Sabrina tertawa kecil. Gadis itu menepuk pelan pundak si juru parkir, "Yaudah, saya duluan ya Bang!"

"Siapp!"

Si juru parkir menatap Pramudio yang tengah kebingungan, "Bos, makasih nih rejekinya! Langgeng-langgeng yak!" ucapnya lantang sambil mengangkat tangan sebelah kanannya.

Pramudio mengangguk dan tersenyum.

"Saya bantuin Bos mundurin motornya," si juru parkir berjalan maju, mengambil alih motor Pramudio untuk dikeluarkannya dari barisan sesak kendaraan roda dua itu.

Pramudio yang masih keheranan mendekati Sabrina untuk menyerahkan jaket, "Kenapa itu abangnya seneng banget?"

Sabrina mengangkat bahunya.

"Dikancingin dong jaketnya." Pesan Pramudio kala melihat gadis itu meloloskan resletingnya.

Sabrina menggeleng, "Aku engap abis makan. Nanti aja dikancinginnya pas mau pulang, sekarang kan kita masih mau jalan-jalan." Tolak Sabrina yang membuat Pramudio geleng-geleng kepala.

"Yaudah buka aja sekalian kalau engap." Saran Pramudio yang langsung disambut bahagia oleh Sabrina. Akhirnya!

Sabrina dengan gerakan kilat melepaskan diri dari kungkungan jaket yang hampir menyekik tubuhnya. Wajar, jaket ini dibelinya saat baru saja naik kelas 11 SMA, sementara ia kini hampir menyelesaikan studi S1-nya.

Pramudio tersenyum miring lalu tanpa pikir panjang melepaskan leather jacket yang sebelumnya melekat di tubuh atletisnya dan berpindah membungkus tubuh Sabrina.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang