Dua puluh lima

568 82 10
                                    

"Kak Ica udah baikan?"

Rania yang tengah menyendokkan nasi dari penanak nasi menoleh, menatap si gadis kepingin tahu itu dengan sorot mata sedih nan putus asa.

Sabrina mengembuskan nafas perlahan. Susah juga membujuk Annisa untuk makan. Sudah kurang lebih delapan hari gadis itu mogok makan. Tubuhnya perlahan-lahan mengurus, tapi justru terlihat ringkih.

Dua hari yang lalu, Bundanya mendapat telepon dari wali kelas, melaporkan bahwa Annisa pingsan selepas jam olahraga.

Sepulang dari sekolah, Bundanya meminta Annisa untuk memakan setidaknya satu piring nasi agar tubuhnya bertenaga. Tapi gadis itu kembali menolak dan lebih memilih memakan sekeping biskuit.

"Ah, kalau gitu gue makannya nanti aja. Mau ke kamar Kak Ica dulu, siapa tau hari ini dia mau makan!" putus Sabrina yang menutup tudung saji yang sebelumnya sudah dibuka dan jujur saja menggugah selera makannya.

Rania berdecak, "Ck! Bilang kek daritadi! Kan udah gue sendokin nasi ke piring ini," gerutunya menatap tajam Sabrina.

Sabrina melemparkan wajah sewotnya, "Ya tinggal tuang lagi sih! Belom diapa-apain ini,"

"Jorok!"

"Yaudah sini tutupin kudung aja kalau nggak mau dituang lagi!" Sabrina menarik kedua piring melamin warna putih yang berada di dekat Rania lalu menutupnya dengan tudung saji.

"Bisa-bisanya lo makan disaat kakak lo minum air aja dilepehin," kata Sabrina memandang Rania tak suka.

Rania melotot, "HEH! YANG MINTA MAKAN KAN LO TADI?!"

"Itu gue nguji kesetiaan lo. Cih, ternyata nggak setia."

"Lama-lama lo yang gue makan."

**

"Kakak makan yuk!" Rania bertopang dagu, menatap Annisa yang tengah fokus dengan tugas-tugasnya penuh harap.

"Iya, nanti ya," jawab Annisa yang seakan memberi harapan pada kedua gadis belia itu.

Rania dan Sabrina kontan beradu pandang.

"Kakak mau makan apa? Nasi goreng mau ya?!" Rania menawarkan nasi goreng seafood kesukaan Annisa yang dijual di kedai kecil berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari gerbang masuk kompleknya.

Annisa menggeleng, "Nasi buat gendut, Ran."

Sabrina terdiam.

"Kak Ica, nasi nggak buat gendut kok! Buktinya nih aku biasa-biasa aja! Eh.. montok dikit, sih. Cuma ya bagus lah," sahut Sabrina tersenyum lebar.

Annisa kontan menghentikan tarian jari-jari lentiknya di atas keyboard laptop.

"Kata Pram, nggak bagus." Ucapnya pelan yang kali ini untungnya berhasil didengar.

"PRAM SIAPA SIH?! KENAPA DIA YANG JADI PATOKAN?!" Rania meninggikan nada bicaranya. Melihat itu, Sabrina kontan panik. Rania ini kalau ngomong emang suka asal-asalan, kakaknya sendiri aja digas!

Bukan malah menjawab, Annisa malah menangis.

"Lo sih!" Sabrina melirik sahabatnya itu sinis.

Gadis itupun bergerak mengelus-elus pundak Annisa yang masih sama berantakannya sejak hari itu.

"Kakak mau cerita atau aku yang nyamper ke sekolah nyari Pram Pram itu?!" desak Rania melipat kedua tangannya di depan dada.

Sabrina melempar Rania dengan penghapus yang ada di meja, "Diem dulu!" katanya memperingatkan.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang