BONUS CHAPTER 1: Cemburu

708 75 4
                                    

Sabrina menaruh telapak tangannya di atas telapak tangan besar Dio yang ditaruh lelaki itu di atas paha. Kontan, Dio yang sebelumnya tengah asyik melamun melihat orang berlalu-lalang menoleh, menatap Sabrina penuh tanda tanya.

"Kenapa?" tanyanya.

Sabrina menggeleng sambil terkekeh. Tangannya terangkat di udara, bergerak merapikan letak topi warna cokelat gelap yang dipakai Dio, topi yang dibelinya beberapa waktu lalu karena tergiur diskon tiga puluh persen. Lumayan lah, pikirnya.

Lelaki itu kemudian melirik laki-laki berjaket merah tua yang duduk tepat di belakang Sabrina, tengah fokus menonton video youtube dari kreator kesayangannya. Nafas panjang isyarat tak rela diembuskannya, "Kenapa harus dia terus sih yang nemenin?" ucap Dio melayangkan protes sambil merapatkan diri dan berbicara setengah berbisik.

Sabrina mengangkat bahunya, "Nggak tau, kan dari perusahaan juga mintanya begitu." Sahutnya seraya mengulurkan tangan untuk merengkuh Dio.

Dio menaruh kepalanya di pundak Sabrina, dalam diri mengendalikan rasa terbakar karena untuk kesekian kali, Sabrina mesti pergi untuk perjalanan bisnis dengan laki-laki bernama Ridwan.

Selepas jam kerja berakhir tadi, Dio buru-buru melaju ke kediaman Sabrina untuk mengantar gadisnya itu ke Stasiun Gambir karena malam ini, Sabrina dan partnernya akan berangkat ke Jogjakarta menggunakan kereta api. Mereka akan berada disana selama satu minggu lamanya.

"Kamu pindah ke kantor aku aja deh kalau begitu." Usul Dio yang dihadiahi cubitan di pipi oleh Sabrina.

"Kalau itu perusahaan punya Bapakmu, yaudah masukin aja aku kesana." Jawabnya bergurau.

Dio mengerucutkan bibirnya, "Atau dia aja tuh suruh pindah kantor, kemana kek," lagi, lelaki itu memberikan ide ngawur.

"Haish! Kamu tuh, perasaan Ridwan juga nggak ngapa-ngapain deh, kok bawaannya sensi aja?"

"Nggak ngapa-ngapain gimana? Dia aja pas awal-awal suka banget ngajak kamu makan siang, nawarin anter jemput segala."

"Ya kan itu duluu, pas dia tau aku udah punya pacar juga nggak lagii,"

"NAH KAN EMANG NGINCER TUH DARI AWAL."

Sabrina buru-buru membekap mulut Dio dengan telapak tangannya, takut jikalau Ridwan mendengar ocehan asal-asalan pacarnya.

Gadis itu menoleh ke belakang, mengecek situasi.

Aman.

Berkat headset putih yang menyumpal kedua telinganya, Ridwan masih haha hihi di belakang sana. Lelaki berkacamata itu membunuh bosannya dengan menonton video ataupun berselancar di sosial media. Sedang, Sabrina menghabiskan waktu senggang sebelum keberangkatan dengan berbucin-bucin ria bersama Pramudio.

"Oh iya, itu kabar cewek magang yang suka nanya-nanya kamu tentang ini itu gimana? Masih suka nempel-nempel, nggak?" balik Sabrina melancarkan serangannya.

Beberapa minggu yang lalu, Dio memang sempat bercerita ada sekelompok anak magang di divisinya. Salah satu dari mereka, yang paling cantik—setidaknya menurut penilaian orang-orang di sekitar mereka—kerap kali datang padanya untuk bertanya seputar pekerjaan maupun mencoba mengulik-ulik kehidupan pribadi Dio.

"Kamu tuh bilang nggak sih sama orang-orang di divisi kamu kalau udah punya pacar?!" Sabrina melepas segala rengkuhannya, lalu duduk tegak menatap lurus Dio—menginterogasi. Tak lupa, kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Bilang, aslii! Aku udah sampe berbusa bilang kalau aku ini punya pacar."

"Ya terus kenapa masih ada aja perempuan-perempuan dari divisi lain ngirimin kamu bunga atau makan siang? Atau anak-anak magang juga demen nempel-nempel kamu padahal mentornya bukan kamu?!"

Dio tertegun, merasa terpojok dengan pertanyaan beruntun yang dilempar oleh Sabrina. Mana bisa ia menjawab itu semua?! Kan yang melakukan juga mereka.

"Yang, kalau itu aku mah nggak paham, coba tanya mereka aja."

"Aku curiga kamu malu ngenalin aku ke orang-orang."

Mata bulat Dio membesar, tak berapa lama, lelaki itu menunjukkan ekspresi tak suka yang ketara, "Ngomongnya kok gitu sih? Aku bahkan ngenalin kamu ke tanaman-tanaman Mama yang nggak bisa nyaut itu."

Tak tahan, tawa Sabrina akhirnya meledak. Bisa-bisanya di tengah kondisi serius begini, Dio menyangkutpautkan ini semua dengan tanaman Ranti.

"Lucu banget sih, Mas Dio. Heran, aku bukan cuma ketawa jadi ikut jatuh cinta." Celetuk Sabrina mengulas senyum kecil di akhir kalimatnya.

Dio sontak memalingkan wajahnya, mengatur senyum yang sulit untuk ditahan setelah mendengar omongan dangdut Sabrina. Heran, padahal mereka sudah satu setengah tahun bersama, tapi mendengar hal-hal receh begini saja masih membuat pipinya bersemu malu.

"Kamu mau ngambil ini nggak?" setelah berhasil mengendalikan diri, Dio bertanya.

Sabrina nampak kebingungan. Omongan Dio barusan terkesan menggantung, seperti menawarkan sesuatu tapi tak jelas objeknya.

"Ngambil apa?" tanya Sabrina mengedarkan pandangannya ke sekitar Dio, mencari benda yang ditawarkan lelaki itu.

"Ngambil ituloh... nama belakangku."

Heboh, Sabrina pun memberi reaksi dengan cara memukul-mukul lengan atas Dio lumayan keras. Bisa-bisanya ia tertipu dengan gombalan Mamang Es Cincau begini.

"SEBEELL!!!"

Dio merintih kesakitan. Begini nih, tiap kali gadisnya salah tingkah, lengan atasnya pasti selalu jadi sasaran.

"Sakiiittt." Ringis Dio mengusap-usap lengannya sendiri.

Sabrina mendekat—masih dengan tawa salah tingkahnya. Diusap-usapnya bekas penganiayaan tadi, "Maaf ya, biar cepet sembuh nih aku tepuk-tepuk."

Tak lama kemudian, pengumuman kedatangan kereta dengan nomor dan tujuan akhir yang tertera di tiket Sabrina berkumandang keras melalui speaker. Para penumpang yang telah tiba dipersilahkan untuk masuk.

Sabrina menoleh, mendapati Ridwan tengah menatapnya, "Yuk, Rin. Keretanya udah sampe." Ajak Ridwan sambil berdiri dan merapikan barang-barangnya yang berserakan.

Sabrina mengangguk.

Ketika kepalanya kembali diarahkan pada Pramudio, lelaki itu tertangkap basah tengah melirik Ridwan sewot.

Karena takut Ridwan akan sadar pada hal itu, buru-buru Sabrina menutupi sepasang mata yang penuh kilau bintang itu dengan telapak tangannya.

"Hush! Awas keluar tuh mata ngeliatin orang segitunya." Tegur Sabrina.

"Ya abis buru-buru banget, baru juga nyampe tuh kereta."

Sabrina menepuk-nepuk pipi Dio pelan, "Iya, biar nggak ribet kalau masuknya mepet-mepet. Aku masuk dulu ya, kamu hati-hati pulangnya, jangan ngebut!"

Dio mengangguk.

"Iya."

Lelaki itu merentangkan tangannya, membuka akses bagi Sabrina untuk menelusup masuk. Sabrina geleng-geleng kepala, dasar bocah.

"Aku bakalan kangen banget huhuhuhu." Ungkap Dio melingkarkan lengan kekarnya pada tubuh Sabrina.

Sabrina menaruh dagunya di pundak Dio, mengelus punggung lebar itu lembut, "Sama huhuhu," balasnya tak mau kalah.

"Huhuhu nggak usah pergi deh kalau gitu."

"Huhuhu nanti nggak dapet duit."

Sabrina mengurai peluknya, menatap Dio lurus tepat di manik mata, "Mas Dio mau oleh-oleh apa?"

Dio mengarahkan bola matanya ke atas, berpikir keras.

"Apa ya? Hmm... nggak usah deh kayaknya. Kamu pulang aja udah jadi hadiah buat aku." Balasnya masih dengan jawaban ter-dangdut sedunia.

"Besok jangan kebanyakan bergaul sama bapak anak dua ya, di kantor. Jadi ketularan dangdutnya!"

Dio tertawa lalu kembali melirik ke tempat Ridwan berada.

"Awaaas, jangan aneh-aneh ngeliatin orang." Kata Sabrina memperingatkan Dio tuk menahan tatapan julidnya pada Ridwan yang bahkan hanya bernafas di sana.

***

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang