"Tambah air deh," Pramudio berkata dengan hati-hati sembari mengembangkan senyuman yang terlihat jelas menyembunyikan sesuatu. Melihat ekspresi aneh Pramudio, Sabrina pun mengambil alih sendok yang berada di tangan sebelah kanan Dio. Gadis itu kemudian mengambil kuah tom yam buatannya seujung sendok, lalu ditiup-tiup sebentar sebelum masuk kedalam mulut.
Perlahan, seiring dengan indra pengecapnya tersengat asin, bola matanya ikut membesar.
"ASIN BANGET, ADUH AKU JADI KAYAK MAU KAWIN DEH NGASIH GAREM NGGAK KIRA-KIRA," celoteh Sabrina buru-buru menambahkan air dari dispenser yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
"Kamu mau apa?" cicit Pramudio.
"Mau kawin,"
"Mau?"
"Mau—EH, maksudnya nggak sekarang juga, itu cuma perumpamaan, maksudnya tuh nggak sama Mas Dio jug—"
"Nggak mau sama aku?"
Sial. Enam bulan mengenal Pramudio, Sabrina jadi paham bahwa lelaki itu suka tipis-tipis menggodanya. Biasanya di akhir, ia akan diam salah tingkah sambil menepuk lengan atas Dio yang kian hari kian terasa keras saja, karena lelaki itu rajin olahraga. Sabrina yang temani, Sabrina juga yang mesti kuat-kuat diri.
Di hadapan umum, Pramudio biasanya akan membungkus dirinya dengan jaket parasut hitam yang belakangan ini suka dipakainya. Tapi kalau sudah masuk ke mobil, jaket itu ditanggalkannya hingga hanya menyisakan kaus hitam pas badan yang lengannya jangkis. Sabrina jadi mikir dalam hati, apa ini bisa dilaporkan ke dalam kasus pembunuhan berencana ya? Soalnya Dio kayak niat banget buat dia sesak nafas sendiri.
Sore ini, mereka tengah berada di rumah Pramudio. Hanya berdua. Keluarga Dio pergi ke luar sebentar untuk menghadiri arisan keluarga besar yang diselenggarakan di kediaman Tante Ira, adik perempuan Ranti yang berada di komplek gedongan daerah Menteng.
Tadinya Dio mau ikut, tapi Sabrina tadi pagi mengajaknya untuk masak tom yam sekalian bikin konten tiktok. Yah, tiktoknya sih nggak banyak yang lihat, gapapa. Sabrina juga nggak rela-rela amat wajah Dio jadi konsumsi publik. Apalagi kalau sampai dikomen sama mbak-mbak gatel yang sukanya ninggalin komentar semacam 'kok cowoknya mau sih sama cewek begitu?' atau 'kok dia yang begitu laku, gue yang lebih cakep masih jomblo'.
Sebelum memasak tom yam, Sabrina telah menyelesaikan masakan pertamanya tadi di rumah. Ia membuat chocochips cookies, resep turunan dari almarhumah neneknya. Sengaja dibuat banyak, karena Dio bilang, Mamanya suka.
Kalau ditanya perihal bagaimana perasaannya terhadap Dio sekarang, jawabannya ia merasa nyaman. Belum tahu rasa nyaman ini akan dibawa kemana, jauh didalam diri Sabrina masih menyimpan ketakutan yang entah untuk apa. Ia masih ingin melihat, sekeras apa Pramudio mencoba. Ia masih ingin yakin, apa yang hatinya mau.
Sabrina masih menyimpan Daffa.
Laki-laki itu, meski sudah menyakitinya dengan berupa-rupa cara, nyatanya masih saja betah duduk di singgasana. Jika dibanding harus bersama orang baru dan disakiti dengan cara yang belum diketahuinya, Sabrina lebih memilih kembali bersama Daffa, karena ia tak akan hancur kedua kali dengan orang yang sama, bukan?
Tidak lucu jika di tengah jalan ia berputar balik sedang harapan telah ia layangkan.
"Mas Dio bilang dong kalau keasinan!" kembali dengan kericuhan sore ini, dengan omelan Sabrina yang menggema di dapur kediaman Adinata.
Pramudio nyengir, "Itu aku udah bilang kan, tambah airnya."
Sabrina geleng-geleng kepala seraya mengaduk panci berisi kuah merah yang memiliki rasa pedas asam menyegarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...