Tiga

915 139 15
                                    

Sudah dua minggu berlalu semenjak pertemuan terakhir antara Sabrina dengan Pramudio. Mereka tidak bertukar kontak hari itu. Sengaja. Sabrina tidak sedang diburu waktu, jadi ia banyak melakukan pertimbangan mengenai mau ke arah mana hubungan ini setelahnya. Ditambah ia juga sedang sibuk menyusun skripsi, mencari data-data yang diperlukan untuk membuktikan hipotesis-hipotesis yang telah dibuatnya.

Malam ini, Sabrina tengah menunggu abang keduanya, Athala, untuk datang menjemput ke kafe tempat ia dan beberapa teman SMA-nya menghabiskan waktu untuk bercengkrama berkedok menyusun skripsi bersama. Ketiga temannya sudah pulang, Sabrina yang meminta. Gemuruh petir sudah terdengar sejak sore, sementara mereka pulang-pergi mengendarai motor. Takut kehujanan, kasihan nanti.

Gadis itu sendiri telah meminta Athala untuk membawa mobil, takut kehujanan juga. Repot, soalnya dia bawa laptop serta buku-buku hari ini.

21:30.

Ini jalannya dari Sabang sampe Merauke apa sih lama banget jemputnya? Batin Sabrina menggerutu.

Pasalnya, ia sudah meminta Athala untuk menjemput sejak pukul delapan tadi. Tapi sampai sekarang, lelaki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Tak sabar, Sabrina menelepon Athala untuk yang kesekian kali dalam tiga puluh menit kebelakang ini.

"Halo?"

"ABANG UDAH DIMANA?!"

"Eh, dimana yah? Tadi sih bilangnya udah deket, sebentar abang chat dulu," jawabnya yang malah membuat Sabrina kebingungan.

"NGOMONG APA SIH?! KAYAK ORANG MABOK AJA. ABANG DIMANA SEKARANG ISH YANG BENER," desak Sabrina.

Athala berdecak, "Ck! Nggak sabaran banget. Orangnya udah sampe tuh katanya, mobil—"

"ORANGNYA?! ABANG NYURUH AKU NAIK GRAB CAR YA?!"

"Ya Tuhanku.. Sabrina, abang lagi ngomong jangan dipotong. Itu—"

Sabrina menjauhkan ponselnya dari telinga kala seorang laki-laki tampan dengan kaus hitam dan ripped jeans bewarna senada mendekat. Lelaki itu terlihat menyugar rambutnya sebentar sebelum memasang topi putih dengan lambang tiga garis lurus yang menjadi logo sebuah brand terkemuka.

Lagi dan lagi, gadis itu dibuat terkesima dengan ciptaan Tuhan yang dipahat hampir tak bercela. Sabrina akui, Pramudio itu tampan. Terlampau tampan malah. Sabrina sampai minder jika harus berdampingan dengan lelaki itu.

Pramudio menurutnya lebih cocok bersama dengan wanita-wanita karir yang kerjanya di kawasan segitiga emas Jakarta yang tiap pagi sarapannya roti dan kopi dari Starbucks. Bukan dengan dia, seorang mahasiswi semester tua yang mix and match outfit aja kadang nggak nyambung blas!

Mana kadang masih suka ngerepotin keluarga...

Pramudio tersenyum hingga matanya menyipit, "Halo Sabrina. Maaf ya lama nunggunya," ucapnya seraya mengelus tengkuk, merasa tidak enak hati.

Sabrina kontan bangkit, lalu melambai-lambaikan tangannya di udara, "Eh, nggakpapa Mas. Aku fikir Abang Aca yang lama tadi."

"Abang Aca?"

Sabrina mengangguk.

Panggilan Athala kalau di rumah memang Aca. Dulu sih manggilnya Atha, tapi semenjak ada Atha cabang halilintar, Sabrina jadi inisiatif ngubah panggilannya. Untungnya sih semua setuju, termasuk Athala yang nggak mau orang-orang kebayang Atta halilintar waktu manggil namanya.

"Yaudah, yuk pulang." Ajak Pramudio yang langsung menyambar tas jinjing Sabrina yang berisikan buku dan laptop.

"Mas, nggak usah, aku aja." Tolaknya mencoba meraih kembali apa yang diambil Pramudio.

Lelaki itu menggeleng, "Nggakpapa, sini aku aja taro di belakang."

"Makasih, Mas."

"Iya Sabrina."

Sabrina berdiam di depan pintu mobil, menunggu Pramudio selesai menaruh barang bawaannya di bagasi.

"Loh, Sabrina nggak masuk?" tanya lelaki itu telah selesai dengan urusannya.

Sabrina menggeleng, "Nunggu Mas Dio."

Hati Dio berdesir hebat tatkala Sabrina untuk pertama kalinya menyebut nama panggilannya. Aduh, Dio, lagak lo kayak anak SMA aja dah segala kesemsem, batinnya merasa keheranan sendiri.

"Oh iya, sebentar." Pramudio malah membuka pintu belakang camry hitam yang dikendarainya lalu memasukkan setengah badannya untuk mengambil sesuatu di bangku belakang.

Beberapa detik kemudian, Pramudio pun keluar dengan hoodie jacket warna army yang tersampir di bahu.

"Masuk, Sabrina." Ucapnya mempersilakan.

Sabrina pun masuk ke dalam mobil, diikuti dengan Pramudio yang mengambil posisi di ruang kemudi. Setelah sabuk keselamatan terpasang, tiba-tiba Pramudio menyodorkan hoodie jacket yang tadi tersampir di bahu lebarnya.

Sabrina menautkan alis, kebingungan.

"Kenapa, Mas?"

"Kata Abang kamu, kamu kalau naik mobil suka kedinginan. Tapi tadi bilangnya mendadak, jadi aku nggak sempet mampir ke rumah buat ngambil jaket kamu. Sementara make jaket aku nggakpapa kan ya?"

Hah? Suka kedinginan? Bang Aca nih emang beneran minta dilempar kerupuk seblak yah, kebanyakan ngada-ngadanya!

Meskipun sebenarnya Sabrina nggak terlalu butuh jaket ini, tapi ia tetap menerima niat baik Pramudio, "Nggakpapa, Mas Dio. Makasih yaa,"

Sabrina lalu memakai jaket dengan ukuran yang jauh lebih besar daripada ukurannya yang biasa sehingga tubuhnya tenggelam dalam balutan jaket yang wanginya Dio banget.

Aduh Ayah.... Wangi banget jaketnya, berasa dipeluk Mas Dio

"Sudah?"

"Sudaahh."

"Berangkat yaa."

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang