Dua puluh empat

478 76 0
                                    

"Lo ngapain dateng kesini?!" Rania terlebih dahulu buka suara, memecah keheningan yang berlangsung cukup lama.

Sabrina gantian menatap ketiganya keheranan.

Annisa nampak merangkul adiknya, "Udah, nggak enak ah teriak-teriak begitu," kata wanita berhijab cokelat itu memperingatkan Rania.

Rania menatap Pramudio setajam belati yang baru saja diasah, "Asal dia pergi dari sini, gue nggak bakal teriak-teriak kok, Kak."

"Halo? Ini ada apa ya? Kok tiba-tiba Mas Dio diusir?" Sabrina kontan berdiri di tengah mereka, menatap semuanya meminta penjelasan lebih lanjut.

Kini, Rania giliran menatap Sabrina lurus, "Ini cowok baru lo?"

Sabrina mengangguk.

"Kenapa sih?" Sabrina masih bingung.

Annisa menggeleng, "Nggak ada apa-apa, yaudah, yuk masuk yuk. Minum dulu," lerai Annisa tak ingin menimbulkan kegaduhan di acara pentingnya.

Annisa menarik pergelangan tangan Rania, mengajaknya untuk masuk ketimbang nanti adiknya itu lepas kendali.

Namun Rania melepaskannya dalam sekali sentak.

"Suruh cowok lo pulang deh, dibanding ngerusak hari yang udah disiapin capek-capek ini," kata Rania melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ini ada apa sih?!" Sabrina mulai bertanya dengan nada tinggi. Gadis itu menghadap Pramudio, menuntut penjelasan karena sejak tadi, lelaki itu hanya diam seribu bahasa.

Rania tertawa sumbang, "Coba tanya cowok lo deh ada apa."

"Kenapa?" Sabrina menatap Dio tepat di manik matanya.

"Mantan." Akhirnya Dio buka suara.

Sabrina mengembuskan nafasnya panjang, ya ampun, dia pikir ada masalah apa sampai ribut sebegininya!

"Yaelah, orang cuma mantan juga, kenapa—"

"Ini cowok brengsek yang pernah bikin kakak gue nangis-nangis sampe mogok makan lebih dari seminggu." Potong Rania membeberkan diri Dio sebenarnya.

Sabrina terdiam, memproses rangkaian cerita yang terjadi beberapa tahun silam.....

—Flashback ON—

"Nanti gue duluan ya yang ngeprint," seorang gadis berambut bondol berucap setelah berhasil mengunyah gorengan yang dibelinya tadi di perjalanan pulang.

Gadis lain, yang berambut sebahu mengangguk setuju.

Saat keduanya tengah berjalan bersisian melewati kamar yang di pintunya ditempelkan poster besar bergambar lima anggota boyband asal Inggris jebolan X-Factor, sebuah tangis yang begitu menyayat hati terdengar.

Sontak, langkah keduanya terhenti.

Sabrina yang memang penakut mendorong Rania—sahabatnya—untuk menguping.

"Sana! Coba itu ada suara apa dari kamar Kak Ica!" desak Sabrina mendorong tubuh Rania menuju daun pintu.

Rania melotot, "Ish! Giliran begini aja gue yang disuruh cek!" gerutu Rania yang tetap menuruti permintaan sahabat penakutnya itu.

Sabrina nyengir.

Pelan namun pasti, Rania menempelkan kupingnya.

Suara tangis itu kian terdengar jelas tatkala kupingnya menempel di daun pintu berbahan kayu warna cokelat yang kokoh. Wajah Rania berubah serius. Melihat betapa seriusnya Rania memasang ekspresi, Sabrina ikut penasaran.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang