BONUS CHAPTER 4: Wortel Saus Karamel

722 86 2
                                    

Satu tahun kemudian....

Sabrina menelan ludahnya seraya menatap layar ponsel yang baru saja memutar video seorang gadis berambut pirang di aplikasi yang sedang banyak digandrungi orang-orang jaman sekarang. Ia kurang begitu suka makan sayuran, tapi melihat gadis pirang di sana mengunyah semangkuk salad membuat dirinya tergugah.

"Serius amat. Nonton apa sih?" Dio berjalan menyambahi Sabrina sambil mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja mandi sepulang dari jalan-jalan di mall tadi.

Sabrina menyodorkan ponselnya pada Dio, "Tonton, Mas." Perintahnya yang dipatuhi oleh Pramudio.

"Iya. Kenapa?" lelaki itu tak menemukan satupun keanehan dari video yang baru saja istrinya tunjukkan. Hanya seorang gadis memakan salad dengan lahap. Sudah, itu saja.

Ekspresi Sabrina berubah sewot, "Kok kenapa sih? Itu, enak! Aku mau makan salad. Ayo beli, Mas." Ajak Sabrina menarik-narik tangan Dio.

Dio mengerjapkan matanya, "Iya, besok kita beli."

"Kok besok? Aku maunya sekarang, Mas."

"Ya aku udah mandi, sayang. Nanti kena debu lagi kalau keluar."

"Kan bisa cuci muka lagi."

"Iya, besok ya, janji deh besok aku beliin." Ucap Dio mengelus lengan atas Sabrina memberi pengertian.

Bahu Sabrina menurun, tak lagi bersemangat.

"Yaudah nggak usah kalau besok-besok." Putusnya bangkit dari ranjang untuk pergi ke ruangan manapun asal tak berada di ruangan yang sama dengan Dio.

Sedang, Dio menatap kepergian Sabrina dengan kening berkerut penuh tanda tanya. Lelaki itu menggaruk kepalanya, keheranan.

Sabrina menggiring dirinya menuju ruang audiovisual—sebuah ruangan yang berisi buku-buku, televisi berukuran enam puluh inch lengkap dengan home theater dan juga koleksi kaset-kaset lama dari musisi kesayangan mereka—. Sesampainya disana, ia melipat kedua tangan di depan dada sambil menghentak-hentakkan kaki sebal.

"Diminta beli salad aja susah banget." Gerutu Sabrina melangkah besar-besar menuju sofa yang berada di ruangan yang didominasi oleh warna putih itu.

Sabrina memejamkan matanya, mencoba meredakan emosinya yang mudah meletup-letup belakangan ini. Entah karena banyak pekerjaan yang semakin membuatnya sakit kepala, atau memang Pramudio bertingkah lebih menyebalkan ketimbang biasanya.

Bener kata orang-orang, cowok berubah kalau udah nikah, gak se-sweet jaman pacaran, selintas pemikiran mampir di otak Sabrina.

Menyadari hal itu sontak membuatnya kembali membuka mata. Mendadak, matanya berkaca-kaca. Bener, kayaknya Mas Dio udah nggak begitu sayang nggak sih sama gue? Batinnya minder.

Tak butuh waktu lama, tangis Sabrina pun tumpah akibat menelan asumsi yang dipikirnya sendiri.

Sedang, di luar ruangan, Pramudio yang sebelumnya sibuk mondar-mandir membuka ruangan satu persatu mencari keberadaan Sabrina seakan tercerahkan tatkala mendengar suara Sabrina dari balik pintu ruangan audiovisual.

Tapi itu bukan suara gerutu mengomel seperti biasa, pikir Dio perlahan mendekatkan diri seraya menempelkan telinganya di daun pintu.

Loh? Kok nangis? Batin Dio bertanya-tanya.

tok tok tok!

Diketuknya perlahan pintu kayu bermodel slide itu.

"Sayang?" panggilnya merasa khawatir.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang