Lima

735 129 9
                                    

Sesampainya di rumah tingkat dua dengan pagar berwarna putih, Sabrina segera memencet bel seraya mengucapkan salam. Pintu ruang tamu terbuka lebar, sofa besar berbahan kulit sintetis warna hitam dapat terlihat dari luar. Kediaman keluarga Adinata terasa asri juga sejuk karena Ranti menaruh beberapa tanaman di halamannya.

Catnya didominasi dengan warna putih bersih mix dengan cokelat susu yang membuat kesan sederhana namun masih sedap dipandang. Selera keluarga Adinata memang tak main-main.

"Waalaikumsalam, Sabrina. Sebentar ya," Ranti keluar dari dalam sana setelah Sabrina menekan bel untuk yang kedua kalinya.

Camry hitam yang kemarin dibawa Pramudio untuk menjemputnya berjejer rapi bersebelahan dengan BMW 530i Opulence warna putih yang terlihat kinclong di dalam garasi. Tak lama, pintu pagar pun dibuka oleh Ranti. Perempuan yang umurnya telah menyentuh kepala lima itu tersenyum hangat menyambut Sabrina dengan tentengan berisi ayam geprek cabai hijaunya.

Sabrina meraih tangan Ranti sebagai salam.

"Masuk, yuk." Kata Ranti mempersilakan tamunya.

Sabrina mengangguk seraya mengucapkan terimakasih. Ia pun masuk sembari menunduk, merasa malu karena pertama kalinya berkunjung ke rumah keluarga Adinata sendirian. Biasanya ia cuma menemani Ibu, itupun biasanya hanya menunggu di mobil. Tapi lihat sekarang, ia datang sendirian, mengendarai sepeda gunung milik Ayahnya karena motor matik yang biasa menemaninya dibawa Athala pergi bekerja tadi pagi.

"Naik apa sayang kesini?" tanya Ranti sekembalinya dari dapur setelah memesan teh manis hangat pada asisten rumah tangganya.

"Aku bawa sepeda, Tante."

"Rajin yaa.. Capek nggak?"

Sabrina menggeleng, "Nggak terlalu, Tante. Deket doang sih hehe,"

Asisten rumah tangga keluarga Adinata yang berumur sekitar tiga puluhan tak lama datang, membawa nampan berisi dua cangkir teh manis hangat dengan kaleng biskuit rasa kelapa sebagai pelengkap.

"Mbak, aku ada brownies cokelat tadi beli. Tolong dipotongin yah," pinta Ranti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh asisten rumah tangganya.

"Sabrina suka brownies kan?" tanya wanita itu selepas mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan yang disajikannya.

"Suka Tante."

"Tante tadi beli tiga kotak, nanti bawa pulang yah. Ada yang cokelat sama keju, sama satu lagi tadi apa ya.. Lupa. Nanti liat aja deh,"

"Eh nggak usah repot-repot, Tante."

"Nggak repot, ini tadi sekalian Papa nya Dio minta beli kue bolu." Ucapnya memberi penjelasan. Ternyata pembawaan ceriwisnya Pramudio menurun dari ibunya. Sabrina sudah berpikir yang macam-macam tadi sepanjang jalan, takut kalau pertemuan mereka pertama kalinya—khusus empat mata—akan berjalan awkward.

Beberapa potongan brownies cokelat yang nampak menggiurkan pun disajikan di atas piring kaca berwarna putih. Sabrina meneguk ludahnya melihat penampakan yang menggugah selera itu.

"Oh iya, Dio nya masih kerja. Biasanya sih jam lima atau jam empat dia pulangnya."

Sabrina membatin, Mas Dio kerja kantoran? Seingatnya, Dio hanya menyebutkan tengah melanjutkan usaha katering yang dirintis oleh kedua orangtuanya.

Melihat raut wajah Sabrina yang kebingungan, Ranti pun cepat-cepat menambahkan, "Mungkin Dio lupa cerita yah. Dia kerja di Kementerian Dalam Negeri, sayang. Alhamdulillah, delapan bulan sih ada dia di sana. Ini karena magangnya waktu itu di sana, jadi dilihat orang-orang kerjanya bagus, langsung pas lulus apply dan diterima."

Sabrina tak dapat menutupi keterkejutan yang tercetak jelas di wajahnya. Siapa yang nggak kaget kalau tiba-tiba diminta dekat dengan cowok yang ternyata selain latar belakangnya nggak main-main, dirinya sendiri pun nggak bisa dikatakan sepele. Makin-makin deh dia mindernya.

"O-oh, keren ya Tan.." hanya itu yang keluar dari mulutnya setelah berdiam lama, mencoba mencerna.

Ranti tersenyum.

"Assalamualaikum..."

Kontan, baik Ranti maupun Sabrina kompak mengarahkan kepala ke daun pintu setelah suara seorang perempuan mengucapkan salam terdengar.

"Waalaikumsalam, sini Adek, kita lagi ada tamu," Ranti menjawab sambil melambai-lambaikan tangannya meminta seorang perempuan dengan rok abu-abu khas anak SMA yang berdiri di ambang pintu untuk masuk.

Gadis itu menyapa Sabrina lewat anggukan kepala dan jalan yang sedikit menunduk.

"Adek ganti baju dulu ya, nanti kenalan sini," gadis itupun hanya mengangguk dan berjalan menuju kamarnya setelah mencaplok brownies cokelat yang ada di piring.

"Adek! Hish, malu-maluin aja," tegur Ranti.

Sabrina tertawa kecil. Lucu juga.

"Mah, itu sepeda siapa sih aku mau masu—eh." Setelah bayangan gadis itu mulai hilang ditelan jarak, terdengar suara lain yang kali ini jauh lebih berat.

Suara itu milik seorang pemuda berkemeja putih panjang yang tiga kancing teratasnya dibuka hingga menampilkan kaus cokelat dan peluh yang membanjiri sekitaran lehernya. Itu Dio, yang menggantungkan ucapannya tatkala beradu pandang dengan Sabrina.

"Eh? Maaf Mas Dio, itu sepedaku." Gadis itu buru-buru berdiri sambil berjalan ke luar dan melihat sepeda hitam milik Ayahnya tengah hadap-hadapan dengan motor sport 250 cc milik Pramudio.

Yah, memang nampak menutupi jalan masuk banget sih!

Sabrina hampir menyentuh stang sepedanya sebelum Pramudio dengan cepat menyambar, "Aku kira itu punya Mang Emoy, maaf Sabrina, ini aku bantu pinggirin ya." Katanya tanpa melakukan kontak mata.

Bukan dipinggirkan, Pramudio malah memasukkan sepeda tersebut ke dalam garasi tempat menaruh kendaraan roda dua koleksi keluarga Adinata.

Ya Tuhan pake dimasukin garasi.... Gue bisa alesan buat balik padahal tadi...

***

BONUS PIC: MAS DIO HIHIEHEIWHEIWHSSHSJA GILA

BONUS PIC: MAS DIO HIHIEHEIWHEIWHSSHSJA GILA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang