Tujuh

705 123 9
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak hari di mana Sabrina kembali dipertemukan dengan Daffa, dan kembali dihantam kenyataan yang menyayat perasaannya. Sudah dua minggu berlalu, tapi semangatnya untuk melanjutkan hari belum juga kembali. Nafsu makannya menurun drastis, ia lebih suka mengurung diri di kamarnya untuk sekadar menghabiskan series di Netflix atau mengerjakan skripsi bagai orang kesetanan tak kenal waktu istirahat.

Sabrina juga seakan membentangkan jarak dengan Pramudio. Berulang kali ia menghindar dari lelaki itu, meski sempat beberapa kali Pramudio berkunjung ke kediamannya untuk sekadar mengantar masakan buatan Ranti atau iseng ngobrol dengan Ayah dan Athala karena ternyata mereka sama-sama hobi otomotif.

Bertepatan dengan berkumandangnya adzan maghrib, Sabrina baru kembali dari membeli mie ayam di kedai favoritnya. Jaraknya empat kilometer, tapi gadis yang biasanya kemana-mana naik sepeda motor itu mendadak ingin berjalan kaki. Menikmati terpaan angin sambil menguapkan perasaannya yang tak karuan mungkin dapat membantu untuk mengembalikan semangat.

Baru saja Sabrina hendak menutup pagar, sebuah motor sport berwarna hitam dengan seorang pengendara berjaket jeans turun di depan rumahnya. Sabrina kenal siapa dia, dan hendak melarikan diri sebelum seruan menginterupsi.

"Sabrina!"

Pramudio.

Laki-laki yang seperti masuk ke daftar orang yang paling tidak ingin ditemuinya di dunia ini. Ini karena pada hari itu, selepas Daffa tancap gas dari lingkungan rumahnya, tanpa mengucapkan sepatah katapun, Sabrina mengurai peluknya dan langsung meninggalkan Dio dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Dia bukanlah gadis yang bermuka tebal. Sabrina malu menghadap Pramudio setelah kejadian itu. Lagipula, kalau ditanya apa alasannya memeluk Dio malam itu, ia juga tak tahu. Ada dorongan dalam diri yang memintanya melakukan hal itu.

Sabrina menarik nafas dalam sebelum tangannya membuka pintu pagar lebar-lebar, "Eh, ada Mas Dio," sapanya dilengkapi senyum yang terlihat begitu dipaksa.

Pramudio dengan bola mata hitam yang bersinar bak bintang di langit malam itu tak dapat menyembunyikan raut khawatir dari wajahnya, "Kamu kemana aja?" tanya nya tanpa banyak basa-basi.

"Aku abis beli mie ayam, nih," jawab Sabrina seraya mengangkat plastik putih berisi mie ayam yang dibelinya tadi, "Mas Dio nggak bilang sih kalau mau mampir, kalau bilang kan bisa aku beli sekalian." Timpalnya.

Pramudio menggeleng, "Maksud aku, kamu selama ini kemana? Kenapa nggak pernah nemuin aku?"

Sabrina menautkan kedua alisnya, "Nemuin Mas Dio juga buat apa? Kan Mas Dio keperluannya sama Ibu, atau Ayah dan Abang Aca."

Pramudio terdiam kala mendengar jawaban Sabrina.

"Sekarang Mas Dio mau ketemu sama siapa?"

Gadis itu melirik tas jinjing yang berada di tangan sebelah kiri Pramudio.

"Oooh, mau ketemu Ibu. Yaudah, masuk dulu Mas. Aku panggil Ibu nanti." Lanjutnya dan langsung melangkah pergi meninggalkan Pramudio yang seakan mempertanyakan dirinya sendiri.

Sebenarnya, buat apa dia rajin-rajin kesini?

Sabrina mempersilakan tamunya untuk duduk di ruang tamu.

"Aku panggil Ibu. Sebentar ya Mas—"

Pramudio mencekal pergelangan tangan Sabrina yang hendak pergi dari ruang tamu.

"Aku mau ketemu kamu." Ucapnya yang otomatis menghentikan langkah Sabrina.

Gadis itu balik badan, "Iya? Gimana?"

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang