Sepuluh

666 115 10
                                    

Sejak sampai di destinasi pertama mereka, Warpat, Sabrina tak barang sedetikpun lepas dari Pramudio. Gadis itu terus berada di belakang Dio, seperti anak yang takut kehilangan Ayahnya di tempat ramai.

Tempat ini memang sudah jadi tempat favoritnya muda-mudi berumur tujuh belas sampai dua puluh lima tahun. Tempat ini juga suka didatangi anak-anak motor yang touring, entah untuk sekadar istirahat maupun berfoto. 

Pramudio berulang kali menoleh kebelakang, mengecek keberadaan gadis yang berbeda tinggi hampir sembilan belas sentimeter darinya itu.

Lelaki itu masih ragu untuk menggenggam tangan Sabrina, meski dalam kondisi seperti ini, nampaknya Sabrina tak akan protes akan perlakuannya. Pramudio seakan lebih berhati-hati dalam bertindak, terlebih lagi setelah melalui momen emosional kala itu.

Dio takut dicap gegabah, jadi kini ia perlu menyesuaikan langkah.

"Nah, itu ada yang udah selesai." Ucapnya dan berjalan menyambahi meja yang langsung berhadapan dengan lembah.

Mereka pun akhirnya duduk berhadapan. Dio mempersilakan Sabrina untuk memilih tempat duduknya. Dengan bersemangat, Sabrina pun memilih tempat duduk yang paling dekat dengan tembok penghalang.

Gadis itu terlihat beberapa kali menoleh ke belakang sambil tersenyum lebar.

"Kamu mau apa?" tanya Pramudio seraya bangkit dari tempat duduk.

"Mie rebus rasa kari, nggak pake sayur samasekali ya Mas Dio."

"Pake aja, biar bisa buat aku."

Sabrina mengangguk, "Yaudah, sama minumnya jeruk manis anget aja."

"Sebentar ya," pamit Pramudio yang kemudian pergi untuk memesan.

Sepeninggalan Dio, Sabrina pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana jeans yang ia kenakan. Gadis itu ingin mengabadikan momen ini, momen dimana ia untuk pertama kalinya datang ke tempat yang biasa didatangi kawan-kawannya semasa SMA dulu.

Sejak SMA, Sabrina pengin banget kesini, tapi masih terhalang izin orangtua dulu. Barulah sekarang, ia bisa datang, lengkap dengan Pramudio pula.

Pramudio pun kembali tak lama setelahnya.

"Lagi apaa?" tanya nya penasaran karena Sabrina sampai berdiri di tepian tembok dengan ponsel yang berputar ke segala arah.

"Aish, Mas Dio ngomongnya kenceng amat sih!" protes gadis itu menatap Pramudio sebal.

Dio tertawa kecil sambil meminta maaf. Ia pun mempersilakan gadis itu tuk melanjutkan kembali aktivitasnya yang sempat diinterupsi olehnya.

Tak mau kalah, Dio pun ikut mengeluarkan ponselnya. Dalam diam, ia memotret pemandangan Puncak dengan Sabrina didalamnya. Ia bukanlah pemotret yang handal, hasil fotonya begitu ketara amatir sehingga jarang disimpan karena terlihat jelek, tapi kali ini, entah kenapa hasil fotonya nampak jauh lebih indah dibanding biasanya.

"Mas Dio lagi apa?" Sabrina menoleh sehingga Dio buru-buru menurunkan ponselnya.

"Hah? Oh, lagi foto juga kayak kamu."

Sabrina mengangguk lalu duduk kembali di tempatnya.

"Eh iya, Mas Dio belum aku foto."

Pramudio mengerjap-ngerjapkan matanya, "Aku?" tanya nya tak percaya dan menunjuk diri sendiri.

Sabrina manggut-manggut, "Iya, aku mau masukin instastori,"

Aduh keliatan banget nggak ya kalau gue lagi mau mukanya dia ada di galeri? Ya abis gimana, mau ngajak foto bareng tuh gengsiiii, batin Sabrina mencoba menahan rasa gugup takut permintaannya ditolak Dio.

"Oh okedeh, boleh."

"Atau mau tangannya aja keliatan? Mukanya nggak?" tawar Sabrina yang dalam hati merapal doa agar Pramudio menolak ide ini.

"Nggakpapa, sama mukanya juga."

"OKE!" Sabrina menyambut dengan semangat.

Ia lalu mengarahkan kamera ke arah Dio.

"Mas Dio, kok matanya madep atas?" komentar Sabrina menilai gaya Pramudio yang persis bapak-bapak kompleknya sehabis tanding badminton di lapangan RW.

"Eh harus liat kamera emang?" balik Dio bertanya.

Sabrina mengangguk, "Ya, iya. Mas Dio jadi kayak Pak Rudi, tetanggaku kalau fotonya begitu."

"Ah—oke."

DEMI TUHAN SABRINA, KENAPA LO JADI GALI KUBURAN SENDIRI?! Jerit Sabrina dalam hati yang merasa lututnya kini melemas lantaran galaxy eyes milik Pramudio kini seakan tajam menatap.

Sabrina pun menekan tombol potret dengan arah mata yang sembarang. Bodo deh mau goyang apa ngeblur juga, daripada gue stres liatnya.

"Udah? Cuma sekali?"

"Iya, sekali juga udah bagus." Sahut Sabrina seraya menunduk, hendak memasukan beberapa hasil jepretannya ke instastori.

Namun waktu aplikasi dengan logo warna warni itu terbuka, hal pertama yang dilakukannya malah mengulik instastori teman-temannya. Semua nampak berjalan biasa sampai unggahan milik Daffa muncul di layarnya.

Sabrina menegang. Daffa dan segala kebetulannya.

Lelaki itu baru saja mengunggah fotonya di atas motor, dengan beberapa lelaki yang Sabrina yakin teman satu clubnya. Foto itu tak akan menarik perhatiannya, jika saja caption yang tersemat disana bukan 'PUNCAK, HERE WE GO!'

Puncak luas kan ya? Bisa aja sih dia kesini, tapi pasti nanti siang deh. Ini juga baru di upload dua puluh menit yang lalu, pasti masih di jalan, batin Sabrina meyakinkan bahwa tak ada lagi pertemuan mereka di luar agenda.

Melihat Sabrina gelisah, Dio pun menepuk punggung tangan sebelah kiri yang diletakkan Sabrina di atas meja, "Kenapa?" tanya nya lembut.

Sabrina mendongak lalu menggeleng cepat, "Ah, nggakpapa." Dustanya seraya memasukan ponsel kembali ke saku celana.

"Eh iya, aku ambil helm sebentar ya, kata Akangnya rawan ditinggal disana." Ujar Pramudio hendak berdiri.

"Aku aja Mas Dio yang ambil." Cegah Sabrina.

Pramudio memandang gadis itu ragu, "Kamu mau?"

"Iya. Sebentar."

Sabrina melangkah pergi menuju parkiran. Namun sesampainya disana, kedua helmnya tak ada disana. Panik, gadis itu pun menyambahi juru parkir yang tengah duduk mengobrol dengan warga lokal di kursi kayu panjang.

"A, helm saya kemana ya?"

"Ohh, itu Teh, ditaro di pos depan situ. Takut keujanan, jadi pindah kesitu semua."

Sabrina mengembuskan nafasnya lega, "Oalah, saya kira kemana. Diambil sekarang bisa A?"

"Bisa. Teteh nanti nyebrang ke pos depan situ aja tuh keliatan kan yang ada si Eceu yang make kerudung merah."

"Oh iya A. Makasih yaa,"

Sabrina berjalan lambat menuju tepi jalan. Kedua tangannya saling berkaitan. Ia sebenarnya nggak bisa nyebrang, karena trauma hampir ketabrak angkutan umum waktu sembarang nyebrang jaman SMP dulu. Jadi deh, sampai sekarang di umurnya yang menginjak 22 tahun, masih belum bisa nyebrang tanpa dibantu atau pegang tangan seseorang.

Sabrina meneguk ludahnya, beberapa kali ia maju-mundur, menunggu jalanan sepi.

"Sekarang, ayo." Tiba-tiba, tangan sebelah kirinya disambar oleh seorang pemuda yang ia kenal betul bahkan hanya lewat harum tubuhnya.

Daffa.

***

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang