4 tahun kemudian.....
"Ya kamu apa-apa ngandelin aku aja, emang yang mau nikah tuh cuma aku aja?" Sabrina mengatur nafasnya, menahan emosi yang hampir menyentuh puncaknya.
Sedang, seorang laki-laki berkaus dongker di seberang sana menyugar rambut hitamnya dengan wajah yang tertekuk sempurna, "Ya kan aku udah bilang, kalau bulan ini aku banyak megang projek penting, nggak bisa terus-terusan bantuin kamu."
"Terus-terusan apanya? Dari kemaren juga aku yang ribet bolak-balik aja."
"Masih kurang apalagi sih emangnya?"
"Banyak!"
"Kok jadi marah gitu, sih? Kemaren bilangnya bisa ngurus sendiri, gakpapa ngurus sendiri. Kalau emang nggak bisa sendirian ya bilang, jangan bisa-bisa tapi ujung-ujungnya marah-marah nggak jelas begini." Dio mulai kehilangan kesabarannya.
Sabrina tertegun. Pramudio baru saja berbicara dengan nada tinggi dengannya. Gadis itu melirik layar laptopnya sambil geleng-geleng kepala, "Kalau semuanya sendirian terus guna kamu apa?" ia masih tak mau kalah.
"Ya makanya aku minta sabar, nanti kita urus sama-sama."
"Kelamaan."
"Ya kalau gitu cicil aja sendirian."
Sabrina mengerjap-ngerjapkan matanya, tak mempercayai jawaban yang baru saja terlontar dari mulut Dio. Saat ini, mereka tengah berkomunikasi lewat video call lantaran Dio yang sedang berada di luar kota. Sudah dua bulan belakangan ini, Sabrina kesulitan membagi waktunya antara mengurus berkas-berkas pernikahan dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya di kantor.
Dalam kurun waktu yang sama pula, Dio sebagai calon mempelai pria seakan bersikap acuh dengan persiapan hari akbar mereka.
"Ya kalau aku apa-apa sendirian mending batalin aja nikahnya. Toh yang mau nikah aku doang kan kayaknya?" habis sudah kesabarannya, meledak juga akhirnya.
Dio menatapnya dengan kening berkerut dan alis yang saling tertaut, "Kamu kok ngomongnya begitu sih? Kalau capek ya istirahat aja dulu, nggak usah ngomong ngelantur."
"Yaudah, ayo kita istirahat kalau begitu."
Diam beberapa detik.
"Ya udah, kamu nggak usah ngurusin berkas-berkas dulu kalau cap—"
"Kita break aja, gimana? Toh keliatannya Mas Dio juga masih setengah hati ngejalanin ini semua." Putus Sabrina memberanikan dirinya.
"Sabri—"
"Aku rasa Mas Dio perlu waktu. Kalau emang nggak bersedia, kita bisa mundur sebelum terlambat." Tutup Sabrina sekaligus mengakhiri sambungan teleponnya.
**
Sabrina baru saja akan menaiki motor dari pengemudi ojek online yang telah dipesannya sejak berada di lift menuju perjalanan ke lobi tadi, sebelum sebuah tangan mencekalnya. Gadis itu menoleh, mendapati Dio dengan kemeja biru langitnya memasang wajah datar.
Dio maju beberapa langkah, mengeluarkan satu lembar uang warna merah dari dompetnya untuk diserahkan kepada si pengemudi, "Pak, maaf ini pacar saya lupa kalau mau dijemput. Diselesaikan aja trip-nya, ini ongkosnya."
"Oh, iya Mas." Jawab laki-laki yang kira-kira berumur lima puluh tahunan itu lantas menyelesaikan perjalanannya, serta mengucapkan terima kasih lalu tancap gas dari lobi kantor.
Tanpa bicara, Dio pun menarik tangan Sabrina, membawanya ke parkiran yang ada di basement tempat lelaki itu menaruh mobilnya.
"Masuk." Titahnya membuka pintu meminta Sabrina untuk masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...