2019.
"Dengerin gue dulu," Daffa menyekal pergelangan tangan Sabrina yang hampir saja menangis karena untuk kesekian kali, ia masih saja terperangkap dalam jeratan janji dan mulut manis Daffa.
Sabrina melepaskannya dengan sekali sentak lantas menatap Daffa tajam bak belati yang baru saja diasah, "Gue nggak butuh denger apa-apa dari lo." Tukasnya kembali berjalan pergi menjauhi coffee shop tempat di mana mereka kerap menghabiskan waktu bersama.
Tak menyerah, Daffa mengejar Sabrina hingga langkah mereka sejajar. Dengan cepat lelaki itu memblokir jalan Sabrina yang wajahnya kini merah menahan amarah.
"Minggir atau lo gue tendang." Ucap gadis itu dengan wajah datar.
Daffa mencoba meraih tangan Sabrina yang tentu saja dicegah, "Gue punya alasan, Sabrina. Tolong dengerin dulu," Daffa masih kukuh berusaha menjelaskan suatu alasan yang jelas Sabrina muak mendengarnya dan tak ingin lagi berurusan dengan lelaki itu.
Pelataran parkir sontak memusatkan perhatiannya pada kedua muda-mudi yang nampak jelas tengah bertengkar di muka umum. Beberapa dari mereka mencoba menguping, beberapa yang lain bersiaga melerai mereka jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Sadar menjadi pusat perhatian, Sabrina mencoba mendinginkan kepalanya.
Gadis itu mengusap wajahnya kasar, "Mau lo apa?" ia berbicara dengan nada rendah.
"Lo dengerin penjelasan gue."
"Fine. Ayo di mobil." Sabrina mengalah dan memimpin jalan menuju mobil sedan abu-abu yang dikendarai Daffa.
Sesampainya di mobil, Sabrina meminta Daffa untuk mencari tempat lain yang sepi karena seisi lingkungan terlanjur penasaran dengan kelanjutan pertengkaran mereka tadi. Daffa menurut, membawa kendaraannya menuju sebuah taman di dekat komplek rumahnya yang juga berdekatan dengan Sabrina.
Taman ini sepi, hanya ada beberapa anak kecil yang berkunjung dengan para susternya sembari menyuapi makan sore ini.
Dada Sabrina naik turun, emosinya telah menyentuh puncak, tetapi ia tetap mesti berada di sisi Daffa yang jujur saja makin membuatnya naik pitam.
"Gue nggak punya banyak waktu. Omongin apa yang butuh lo omongin." Kata Sabrina tegas seraya menatap lurus ke arah jalanan yang ada di depan.
Daffa menarik nafas dalam, tangannya bergerak menggenggam kedua tangan Sabrina yang kali ini tak menunjukkan perlawanan, "Gue minta maaf. Gue nggak ada maksud buat mainin lo—"
"Nggak maksud tapi lo ninggalin gue jadian lagi dengan orang lain, untuk yang kedua kalinya!" potong Sabrina dengan nafas memburu.
Daffa mengangguk dengan bahu yang lemas, "Gue sayang sama lo. Terlalu sayang sampe rasanya nggak tega buat ngiket lo pake status yang gue aja nggak tau gimana akhirnya."
Sabrina menautkan kedua alisnya, "Omongan lo nggak masuk di gue."
"Gue nggak mau hubungan ini ada akhirnya. Gue mau kapan pun bisa balik ke lo, nggak mesti kepentok batasan mantan-mantan apalah itu. Dengan kita nggak punya status, kita nggak pernah nemuin ending, Sabrina."
Sabrina masih tutup mulut. Alasan itu terlampau konyol di telinganya. Kalau memang lelaki itu tak menginginkan adanya status, dengan dalih karena di akhir bisa menyulitkannya, kenapa tidak berkomitmen seperti orang-orang di luar sana?
Dia perempuan yang fleksibel, asal berdampak baik bagi kedua belah pihak, ia mampu menyanggupinya.
Tapi apa yang ditempuh Daffa sungguh membuatnya sakit kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...