2013.
Rania mendorong tubuh Sabrina mendekati seorang laki-laki yang tengah berdiri dengan seragam awut-awutan dan rokok yang terselip di antara jari-jarinya. Tak biasanya lelaki itu sendirian di warung kopi dekat sekolah, tempat para pentolan menghabiskan waktu untuk sekadar ngobrol sambil merokok. Sebuah kegiatan yang ilegal dilakukan anak-anak seusia mereka, seharusnya.
Sabrina memutar kepala, melotot ke arah Rania yang tengah menatapnya seraya tersenyum hingga matanya berbentuk bulan sabit dan jempol yang diacungkan tinggi-tinggi, "SEMANGAT!" kata nya berbisik.
Sabrina menarik nafas dalam sebelum dengan segenap keberaniannya melangkahkan kaki menyambahi tempat Daffa berdiri. Tak lupa, gadis itu menyembunyikan cokelat kecil yang dibelinya tadi pagi di minimarket yang sejalan dengan arah sekolah di belakang tubuh.
Sadar ada yang mendekat, Daffa pun menoleh. Keduanya lantas beradu tatap.
Sabrina berdehem, membasahi lidahnya yang terasa kelu, "Hai, Daffa." Sapanya yang dibalas dengan senyuman manis.
Daffa mengangguk singkat, "Eh, Sabrina. Kenapa?" tanya lelaki itu berusaha semaksimal mungkin mengatur ekspresi keterkejutannya. Bagaimana bisa gadis yang biasanya menempel dengan guru-guru di sekolahnya sekarang mampir di sarang penyamun?
Mereka saling kenal, tapi bukan dalam porsi sedekat itu untuk sampai bermain bersama bahkan disusul ke tongkrongan. Jadi jangan heran kalau Daffa merasa heran.
Sabrina mencoba menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman untuk menutupi rasa gugup. Perlahan, tangan yang tadi disembunyikan mulai ditampakkan.
"Hari ini valentine. Ini buat lo. Jangan ditolak, please." Ucapnya terburu-buru sambil menunduk menatap ke arah sepatu hitam yang talinya belum diikat sempurna.
Daffa mengerjap-ngerjapkan mata, benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di hidupnya. Dari sekian banyak perempuan yang nekat menyatakan rasa ketertarikannya, baru kali ini ia dibuat tak menyangka.
Meskipun kembali diterpa rasa terkejut, Daffa buru-buru mengatur air mukanya, "Ini dari lo—atau?" lelaki itu hendak memastikan.
"Dari gue."
Daffa manggut-manggut.
"Kalau gitu gue....." Sabrina hendak berpamitan sebelum manik matanya menangkap sebuah plastik putih dari minimarket terkenal yang berisi setumpuk cokelat dari berbagai merek dan juga ukuran yang diletakkan tepat di atas tas abu-abu Daffa yang kempis karena lelaki itu setiap hari hanya membawa satu buah buku tulis dan pulpen.
Daffa mengikuti arah mata Sabrina. Seharian ini memang kurang lebih ada dua belas perempuan yang datang langsung padanya untuk memberikan cokelat sebagai perayaan hari valentine. Daffa tak sejahat itu untuk menolak pemberian, namun tak sebaik itu juga tuk membalas perasaan.
Ia berencana akan memberikan cokelat-cokelat ini pada teman-temannya yang lain, atau tetangga sekitar. Siapa saja lah, dia kan nggak mungkin memakan ini semua. Atau memakan cokelat selama dua minggu berturut-turut, nanti bisa kena gula.
"Daf!" seruan dari seorang laki-laki bernama Januar menyentak Sabrina dari lamunannya.
Sebelum Januar sempat nimbrung dengan keduanya, Sabrina buru-buru berpamitan, "Kalau gitu gue duluan ya. Makasih, semoga suka." Tutupnya langsung melarikan diri.
Januar menatap kepergian gadis berpakaian rapi dan wangi itu sampai bayangannya menghilang ditelan jarak.
"Itu cewek yang lo incer?"
Daffa tertawa remeh, "Ya bukan lah! Yakali gue ngincer yang begitu. Nggak ada menang-menangnya gue kalau dapet yang begitu."
"Idih gaya banget lo gembel!" Januar meninju lengan atas Daffa, "Terus siapa dong biar keliatan menang?" lanjut ia bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...