Delapan

702 127 15
                                    

"Mas Dio udah pernah ke warpat?" sore ini, selepas menemani Pramudio lari di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabrina dibawa Dio melipir ke warung bakso langganannya sejak masih menjadi mahasiswa.

Dio, yang tadinya tengah membalas pesan-pesan yang berhubungan dengan pekerjaan kontan mengangkat kepala sambil mengangguk singkat, "Udah, kamu udah pernah kesana?" balik lelaki itu bertanya.

Sabrina menggeleng.

"Loh? Kok belum?"

"Nggak ada yang ajak hehe."

"Mau?"

Sabrina terdiam menimang. Ini kenapa gue jadi kayak kode gini sih?! Pasti Mas Dio mikir gue lagi sepak sepik nyari kesempatan buat ngajak dia jalan deh, batin Sabrina bermonolog.

"Sabrina mau ke warpat?" Pramudio mengulang pertanyaannya. Kali ini, ponselnya telah masuk ke dalam kantung jaket berbahan parasut warna biru dongker yang melekat di tubuh atletisnya.

Sabrina nyengir, "Mas Dio mau nggak?"

"Aku nurut kamu. Kalau kamu mau, aku mau. Kalau kamu nggak mau ke warpat, maunya ke mana aku juga ayok aja," jawabnya fleksibel menyesuaikan keinginan Sabrina.

Mata Sabrina berbinar cerah, ia buru-buru mengangguk, "Aku mau! Emang isinya apa sih Mas?" tanya nya dengan raut wajah penasaran.

Pramudio tersenyum kecil, "Apa ya... aku juga udah lupa, sih. Seingetku cuma kayak warung indomie biasa deh, tapi terkenal karena makan indomie with a view." Jelasnya.

Sabrina manggut-manggut. Tak lama kemudian, semangkuk bakso lengkap dengan pangsit dan semangkuk mie yamin asin yang mereka pesan pun datang.

"Eh, yah... kok make tauge sih." Cicit Sabrina memakukan pandangannya pada semangkuk bakso dengan tauge yang melimpah. Ia sudah berpesan pada sang penjual untuk membuat baksonya polos, tanpa sayur sama sekali. Tapi mungkin karena warung ini ramai pengunjung, si abang penjual jadi kelupaan.

Pramudio berhenti mengaduk-aduk mie yaminnya, "Kenapa Sab?"

"Gapapa Mas Dio. Ini tapi ada tauge di bakso ku, padahal tadi mesennya polosan. Tapi nggakpapa, bisa aku pinggirin."

"Pesen lagi?" tawar Pramudio memberi solusi.

Sabrina menggeleng, "Nggak usah, ini aja."

"Kamu nggak suka tauge?"

"Nggak hehe."

"Boleh buat aku kalau begitu?" tanya Pramudio yang membuat Sabrina mengerjap-ngerjap kebingungan.

Otak berkapasitas rendahnya inipun mendadak memikirkan apa maksud dari perkataan Pramudio barusan. Buat Mas Dio? Apanya? Baksonya? Taugenya? Apa semangkok-mangkoknya Mas Dio mau? Mas Dio nyuruh aku makan mie yamin nya kah?

Pramudio memalingkan wajahnya agar tak ketahuan tengah menahan tawanya. Ekspresi kebingungan Sabrina bagaikan hiburannya di hari yang menjelang gelap ini. Tanpa berucap sepatah kata, Pramudio menarik mangkuk milik Sabrina dan segera memisahkan tauge-tauge yang 'mengganggu' untuk dipindahkan ke mangkuknya.

Barulah ketika Pramudio take action, Sabrina paham apa maksud omongan lelaki itu.

"Mas Dio suka tauge?"

"Biasa aja sih kalau aku."

"Itu kok dipindahin?"

"Kan kamu nggak mau,"

"Kalau aku nggak mau, Mas Dio mau?"

Pramudio berhenti melakukan kegiatannya. Lelaki itu menaruh sendok dan garpu yang tadi digunakan sebagai alat bantu memindahkan tauge ke pinggiran mangkuk.

Sirna | Park Sungjin AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang