Sabrina menautkan kedua tangannya di pangkuan. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, tapi di malam berteman hujan ini Pramudio tak kunjung pulang. Sepulang kerja tadi, Sabrina bersiap-siap sebentar untuk langsung melaju ke rumah Dio.
Ranti—Ibu Dio—meminta Sabrina untuk menunggu Dio yang biasa pulang jam tujuh belakangan ini. Tapi sudah satu jam berlalu, lelaki itu tak juga menampakkan batang hidungnya. Sabrina memang sengaja tak memberi pesan terlebih dahulu, takut kalau tiba-tiba ia merasa tak siap, jadi Pramudio tak menunggunya dengan harap.
Ia gelisah, perasaannya tak enak. Entah karena merasa bersalah karena selama ini tak berniat mendengar penjelasan langsung dari mulut Dio, atau karena ada sesuatu yang terjadi pada lelaki itu.
"Sabrina, sebentar ya, ini anaknya juga nggak bisa dihubungin," Ranti secara berkala bolak-balik dari lantai dua ke ruang tamu untuk memberi kabar dan memintanya sabar.
Sabrina mengangguk, "Iya, Tante. Aku nggak lagi buru-buru juga kok, hehe."
Wanita itu tersenyum, lalu kembali entah ke mana lagi kali ini. Sabrina bangkit, hendak mencari udara segar di luar. Kakinya melangkah menuju teras dan berdiri di tepian, menadahkan tangan menampung air Tuhan.
"Aduh, aduh." Sebuah rintihan terdengar di gelap malam.
Sabrina berjinjit, melongok seraya mencari sumber suara. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya muncul seorang laki-laki dengan kemeja putihnya yang nampak kotor dengan noda kecoklatan tengah mendorong motornya yang terlihat rusak di beberapa titik.
Sabrina terpekik.
Buru-buru ia mengambil jaket hitam milik Athala yang tersampir di kursi lalu berlari ke luar tanpa mengenakan alas kaki.
"MAS DIO KENAPA?!" paniknya berjinjit meraih puncak kepala Dio untuk dilindungi dari tetesan hujan yang kian deras.
Pramudio, yang terlihat sama terkejutnya, membungkuk kaku, "Eh? Kok ada kamu?" tanyanya merapatkan diri.
"Ini motor kenapa?" Sabrina mengamati motor yang biasa Pramudio kendarai tuk berangkat kerja dengan tatapan prihatin.
"Nggakpa—"
"JATOH YA?!" potong Sabrina setelah mengalihkan pandangannya meneliti diri Dio yang kotor. Dapat pula ia lihat luka beset di tangan Pramudio yang menggulung kemeja putihnya hingga siku. Kalau penampilannya tidak kacau seperti ini, sudah dapat dipastikan Sabrina bakal salah fokus se-salah-salahnya.
"Aduh Sabiw, kamu pasti pegel deh megangnya. Sini aku pegangin," kata Pramudio yang seakan mengalihkan pembicaraan.
Beruntung, jaket yang diambil Sabrina asal-asalan dari jemuran tadi ternyata anti air. Ia harus berterimakasih pada Athala sepulang nanti karena jaketnya berjasa hari ini.
Sabrina menangkup wajah Pramudio, memeriksa setiap inci dari wajah tampannya.
"Aku pake helm, jadi aman." Ucap Pramudio yang seakan mengerti perasaan khawatir Sabrina.
Sabrina mengangguk, lalu beralih meraih kedua tangan Dio, "Tangannya ada lagi nggak?" tanyanya disela-sela kegiatan.
Pramudio menggeleng.
"Cuma robek aja nih lutut aku."
"HAH LUTUT KAMU ROBEK?!" gadis itu buru-buru merendahkan diri, memeriksa bagian bawah kali ini.
Dio terkekeh pelan, "Celana di bagian lutut, maksudnya. Paling lecet doang kena aspal sih kalau lutut mah,"
Sabrina kembali berdiri tegak.
Keduanya beradu tatap.
Lamat-lamat, tatapan Dio berubah sendu.
"Kamu dari jam—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirna | Park Sungjin AU
FanfictionSabrina takut jatuh cinta. Sabrina takut mengulang kisah lama. Gadis itu akrab dengan luka, berteman dengan sunyi. Rasanya seribu tahun pun tak cukup baginya untuk sembuh, hingga skenario Tuhan mempertemukannya dengan Pramudio. Hanya satu persoalann...