Thara benar-benar asyik mengobrol sampai lupa waktu. Saat mengobrol dengan Daffa tadi, kebetulan Angkasa datang bersama empat temannya. Alhasil, Thara sekarang tengah dikelilingi oleh lima laki-laki. Thara terlihat nyaman, mereka semua mengobrol tanpa canggung sedikitpun. Thara menyukai ini. Terkadang mereka tertawa ketika ada salah satunya tengah memberi lawakan.
Thara tidak menyadari jika sekarang sudah pukul enam sore. Tidak ada satupun diantara kelima cowok itu yang menanyakan ataupun memberi tahu jam berapa sekarang. Untung saja ada suara adzan yang berkumandang. Mereka semua memutuskan untuk berhenti mengobrol dan mulai mengemasi barang-barangnya. Thara panik, ia pasti akan dimarahi papinya kali ini.
"Gue pulang duluan, ya!" Pamit Thara langsung meninggalkan kelima cowok itu dengan tergesa-gesa. Thara mencoba mencari taksi ataupun ojek. Mungkin karena waktu Maghrib, para ojek ataupun taksi tengah beristirahat sejenak dan menjalankan ibadah.
Thara semakin panik kala ponselnya berdering dan menampakkan nama papinya di layar. Ia bingung, jika menjawab telpon itu, pasti papinya akan memberinya banyak pertanyaan, tapi jika tidak menjawabnya, pasti papi akan semakin marah. Thara memutuskan untuk tidak menjawab telpon dari papinya. Nanti saat perjalanan pulang, Thara akan mencari cara agar papi tidak memarahinya.
"Tha, ayo gue anter pulang." Angkasa datang dengan menepuk pundak Thara. Cowok itu menawarkan dirinya untuk mengantar Thara pulang. Tanpa berpikir panjang lagi, Thara menyetujui. Daripada menunggu taksi ataupun ojek, lebih baik ia menerima tawaran Angkasa itu.
"Boleh, Sa." Seharusnya Thara yang tersenyum bahagia, justru ini malah Angkasa. Cowok itu seperti mendapatkan hadiah uang jutaan, padahal hanya mengantar Thara pulang ke rumahnya.
Angkasa... menyukai Thara, ya?
Angkasa hanya membawa satu helm. Ia bingung harus bagaimana. Takutnya jika ia hanya membawa satu helm, Thara kembali menolak ajakannya. "Tha, gue...cuma bawa helm satu. Nggak apa-apa?" Angkasa bertanya dengan sedikit ragu.
"Nggak apa-apa, Sa, rumah gue lumayan deket, kok. Kita lewat jalanan yang sepi aja, ya?" Angkasa bernafas lega kala Thara mengatakan itu. Untung saja Thara tidak menolaknya lagi.
Thara menaiki motor ninja milik Angkasa ketika sudah dipersilahkan. Ini kali pertamanya Thara diantar pulang oleh Angkasa. Ia juga menunjukkan arah jalan rumahnya kepada Angkasa.
Perjalanan ke rumah Thara tidak lama, mungkin hanya sekitar lima belas menit. Thara sedikit mengintip pagar rumahnya yang menjulang tinggi. Angkasa nampaknya bingung dengan apa yang dilakukan Thara. Tadi saat Thara menyuruh Angkasa untuk menghentikan motornya, ia sempat terkejut. Rumah Thara terlihat sangat tertutup. Pagar berwarna hitam yang menjulang tinggi dan terlihat sedikit menakutkan.
"Ini beneran rumah Lo, Tha?" Tanya Angkasa memastikan.
"Hehe, iya, Sa. Serem, ya?"
"Sedikit sih."
"Hehe, btw makasih, Sa."
"Sama-sama, Tha. Gue pulang dulu, ya? Oh iya, jangan lupa sholat dulu sebelum istirahat." Ucap Angkasa pamit dan memberi saran kepada Thara. Thara hanya tersenyum lalu mengangguk.
Thara membuka pagar rumahnya kala Angkasa sudah pergi meninggalkannya. Ketika pagar sudah terbuka, ada perasaan senang sekaligus lega dalam hati Thara. Di halaman rumahnya, ada dua mobil yang terparkir. Thara tahu betul pemilik kedua mobil itu.
Thara aman dari marahan papinya kali ini.Thara berjalan riang memasuki rumahnya. Pintu yang semulanya tertutup, kini dibuka lebar olehnya. Senyum Thara mengembang sempurna. Di ruang tamu, ada papi dan juga keluarga kakaknya tengah berkumpul. Mereka semua kompak menatap tajam ke arah Thara. Senyum yang semulanya mengembang, kini memudar perlahan.
Thara berdeham, "Maaf, tadi Thara nggak bawa jam." Thara mencoba menjawab sesantai mungkin. Ia duduk di samping kakaknya yang menatap dirinya dari atas sampai bawah.
"Ada handphone." Sahut Kanara. Kanara itu kakak Thara yang pertama. Ia sudah memiliki suami dan satu anak.
"Ihh, maaf dong." Thara cemberut. Kakaknya ini memang sedikit galak, tetapi juga sangat perhatian kepadanya.
"Gue becanda kali!" Kanara memukul pundak Thara dengan sedikit keras. Dia tertawa terbahak-bahak entah karena apa.
"Sakit!" Thara menepis tangan Kanara dengan kasar. Wajah cemberutnya tadi terganti dengan wajah yang datar. Kanara memelankan tawanya. Ia tadi tertawa karena melihat ekspresi panik Thara.
"Istri Lo nggak jelas, kak." Ucapan Thara itu diajukan kepada Rama, suami kak Kanara yang tengah menggendong anaknya.
"Aku udah belajar, Pi, tenang aja. Sekarang, Thara mau istirahat dulu."
🌺🌺🌺
Thara kini tengah berada di balkon kamarnya. Ditemani dengan gitar kesayangannya, cewek itu bernyanyi dengan merdu. Thara itu pandai bernyanyi, bakat itu diturunkan dari ketiga kakaknya. Cita-cita Thara dari kecil sampai sekarang masih tetap sama. Yaitu menjadi penyanyi dan menjadi seorang model. Thara ingin sekali mewujudkan cita-citanya itu, tapi entahlah, ia tidak tahu apakah bisa atau tidak. Papinya menuntut dirinya untuk menjadi seorang jaksa, dan Thara mungkin saja harus menurut.
Sejak tadi, Thara memang belum turun untuk menemani kakaknya untuk sekedar mengobrol. Thara terlalu malas untuk turun. Jika kak Kara memang ingin bertemu, biarkanlah dia yang menemui Thara.
Pintu kamar Thara diketuk, karena tidak dikunci, Thara langsung saja mempersilahkan orang tersebut untuk masuk. "Masuk aja, pintunya nggak dikunci." Kata Thara.
Ketika pintu terbuka, nampak kak Kara bersama suami dan anaknya. Mereka menghampiri Thara yang duduk seorang diri di balkon kamar. Thara menyambut baik kedatangan kakaknya itu. Senyum Thara terbit kala Raquel, anak kak Kara ingin dipangku olehnya. Thara cepat-cepat menaruh gitarnya lalu mengambil alih Raquel dari gendongan kak Rama.
"Pasti kangen kak Thara, ya?" Thara mengajak ngobrol balita berusia satu tahun itu.
"Aunty, Tha." Koreksi kak Kara membenarkan ucapan Thara.
"Nggak ah, kalo aunty gitu gue berasa tua."
"Terserah Lo, deh."
"El nggak pulang, Tha?" Rama yang sedari tadi diam pun akhirnya bersuara.
Thara menggeleng lesu, "Nggak kak."
Rama hanya diam. Dia juga bingung harus menjawab apa lagi. Dua tahun menikah dengan kakaknya Thara, Rama tahu betul seluk-beluk keluarga Thara.
"Kalo gue tinggal sama kalian, gimana, ya?" Gumam Thara pelan. Ucapannya itu sebenarnya tidak untuk ditujukan kepada Kak Kara ataupun kak Rama, tapi untuk dirinya sendiri.
"Tha, gue sama Rama boleh aja Lo tinggal sama kita. Tapi gimana sama papi? Kalo papi tau Lo mau tinggal sama gue, pasti bakal marah banget. Nggak apa-apa kalo papi marah sama gue, tapi kalo marahnya sama Lo? Itu jangan sampe kejadian, Tha."
Thara dengan ragu mengangguk pelan. Ia mengerti, kakaknya seperti itu ya untuk kebaikan Thara. Tidak apa-apa jika Thara sedikit menderita sekarang ini, semoga saja, suatu hari nanti penderitaannya ini akan terbalaskan.
"Istirahat gih, besok sekolahnya gue anter."
TBC!
Kasih vote biar aku makin semangat up!
Terimakasih.
Sekian, terima Yeonjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELBITHARA
Teen Fiction"Gue benci lo, jujur." "Nggak apa-apa, B sama C itu deketan, dan Benci sama Cinta juga deketan kok. Gue yakin, lo bakal cinta gue nantinya." Ucapan Bumi itu malah semakin membuat Thara sebal bukan main. "MIMPI!" Seru Thara tepat di telinga Bumi. B...