Jalan Sepuluh

6.5K 93 0
                                    

Entah harus berkata apa, aku jadi hilang akal mendengar masalah yg dihadapi Ninin. Sawah yg jelas-jelas bukan miliknya bisa di gadaikan ke rentenir. Hanya dengan surat keterangan kepemilikan tanah yg dikeluarkan oleh kelurahan. Dan itupun palsu. Sungguh dahsyat keberanian orang itu. Bagusnya tante Ninin bicara lebih dulu masalah ini sebelum lapor ke mama. Aku tak bisa bayangkan marahnya mama, kemudian terdengar oleh papa. Sudah dipastikan para bajingan itu pasti akan "hilang" tanpa jejak.

Papa akan dengan mudah memerintahkan "preman" nya untuk menyelesaikan masalah ini secara bajingan pula. Bukan jumlah kerugian yg dipermasalahkan. Tapi cara "merampasnya" yg diperhatikan papa. Bajingan harus dilawan oleh bajingan, itu moto papa.

Aku mendengar penjelasan tante Ninin dengan seksama. Sambil menikmati wajah ayu nan menawan miliknya. Tante Ninin tahu akan itu namun tak dipedulikannya. Ia lebih fokus berdiskusi untuk menyelesaikan masalah. Aku lebih suka "sambil menyelam minum air"

Janda cantik tanpa anak itu menjelaskan upaya yg telah dilakukan untuk kembali menguasai tanah tersebut. Namum selalu mentok karena ada perjanjian tertulis antara yg mengadaikan dengan rentenir dan itu di saksikan oleh beberapa oknum kelurahan.

"Oke, tan, biar itu aku yg urus! Berikan waktu dua minggu, bila gagal baru lapor mama." ujarku mantap.

"Boleh tau apa yg akan kamu..."

"Tante gak usah tau, terima beres saja. Aku janji dua minggu, okay?" potongku.

"Baiklah kalo begitu, terimakasih kamu mau bantu tante..."

"No problem, ada yang lain, tan?"

"Ada!" sergah tante Ninin cepat mantap. Ia menatap wajahku. Kami saling berpandangan sesaat. Dapat kulihat kilatan berbinar di bola matanya, "ada masalah lagi...?" tanyaku.

"Bukan, ini cuma antara kamu dan Tante..." ujarnya pelan. Ia bangkit dari duduknya dan pindah persis disebelah ku.

Aku termangu, tak tahu harus berbuat apa. Hening beberapa waktu.

"Kenapa kamu berubah?" tanya tante Ninin lembut, menatap sayu padaku.

"Apanya yg berubah, aku biasa aja..." jawabku. Sambil menelan ludah. Mendadak kerongkongan ku terasa kering.

"Iya, kamu berubah. Ghe, kamu selalu dingin kalo ketemu tante..." katanya. Terdengar serak dan ada selarik isak dalam suara lembutnya, "apa kamu masih dendam pada tante? Karena pengakuanmu dulu...?" lanjutnya.

Aku terdiam, benakku kembali ke masa lalu. Masa saat aku duduk di kelas 6 SD. Ada setangkup rasa sesal disana. Namun ada sebiduk rasa kecewa berpadu amarah tak tertahankan. Amarah seorang anak kecil. Meski kini telah beranjak dewasa.

"Maafin tante, Ghe! Tante...."

"Sudahlah, saat itu aku cuma anak kecil bodoh yg bermaksud menggapai bintang!" potong ku  cepat penuh puitis, mataku menerawang jauh, "memang tak pantas!" lanjutku.

"Ahh, tante juga masih kecil Ghea. Tante cuma kaget dan malu waktu itu..."

"Kaget dan memutuskan untuk menjauh."

"Tante gak tau harus ngapain waktu itu...kamu orang pertama yg berterus terang, Ghea!" Ninin mulai terisak dengan jelas. Satu bulir airmata nya menetes membasahi pipinya yg mulus.

"Aku cuma berpikir, sejak tante memutuskan pindah, sejak itulah aku menganggap bahwa aku bukan siapa-siapa buat tante." terangku masih acuh tak acuh, "dan aku merasa tante menjauhiku. Haruskah aku mengemis perhatian pada orang yg memutuskan untuk menjauh dari ku...." lanjutku.

"Maafkan, Tante, Ghee! Maafkan Tante...Tante tau ini salah Tante semua...maafkan Tante....!" ujar Ninin diantara isak yg tak dapat ditahannya lagi, "kasih Tante kesempatan untuk memperbaiki hubungan persahabatan kita..." lanjutnya.

DI SUDUT SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang