Jauh di dalam hati yang paling dalam, Ivana benar-benar merasa kalau seluruh teman-teman Anya memiliki tipe yang sama - nekat dan pantang menyerah - dalam artian negatif.
Padahal sudah jelas saat ini Ivana berdiri di sebelah seorang laki-laki, tapi Arya masih bisa memanggilnya dengan senyum yang genit - hal paling Ivana benci.
"Ternyata bener kata Anya, dia ke sini sama kamu Va. Aku baru aja mau nyamperin kalian," ucap Arya masih mempertahankan senyum sumringah-nya yang mungkin bagi sebagian perempuan memang manis.
Sementara Aditya hanya berdiri sambil memperhatikan laki-laki yang hanya fokus pada Ivana. Bahkan ia ragu apakah laki-laki yang pernah ia lihat saat pertemuan mereka dengan calon suami Anya itu, sekarang sadar atau tidak akan kehadirannya yang berdiri tepat di sebelah Ivana.
"Kamu mau pulang? Buru-buru banget ya? Aku mau ngajak ngopi sambil ngobrol sebentar, bisa ga?" tanya Arya.
"Engga," jawab Ivana gelagapan. Kemudian ia menarik lengan Aditya sambil berusaha tersenyum ramah.
"Udah dijemput soalnya," lanjut Ivana berusaha menahan perasaan tak enaknya. Ia yakin Arya akan membahas soal kenapa ia tak pernah membalas pesannya di Whatsapp."Oh, dia abang kamu ya?" tanya Arya mengalihkan perhatiannya kepada Aditya yang masih menatapnya.
"Kenalin, bang. Saya Arya, temen deketnya Ivana." Arya mengulurkan tangannya dengan senyum sumringah. Sementara Ivana terbelalak kaget bukan main mendengarnya.
"Aditya," jawab Aditya tanpa membalas uluran tangan Arya sehingga membuat ketegangan sejenak diantara mereka. Namun kemudian, tiba-tiba Arya kembali tersenyum.
"Jadi gini bang, saya boleh ga ngobrol sebentar sama Ivana. Nanti saya yang anterin dia pulang, gimana?"
Ivana berdecak kesal, sebenarnya ia sangat tak suka dalam posisi ini. Ingin sekali ia bicara kepada Arya kalau ia tak mau. Tapi apa daya, Ivana sangat sulit bicara pada orang asing seperti Arya.
"Ga bisa, sorry," jawab Aditya sambil menggandeng tangan Ivana keluar dari cafe tersebut. Sementara Ivana hanya mengikuti, tanpa berani lagi melihat ke belakang karena khawatir dengan ekspresi Arya terhadapnya saat ini. Walaupun disisi lain, ia merasa sangat lega karena Aditya.
Ketika sampai di parkiran motor, akhirnya Aditya melepaskan gandengan tangannya dan menyodorkan helm kepada Ivana.
"Dit. Tadi Arya bohong kok. Dia bukan temen deket aku. Aku bahkan ga pernah bales chat dari dia," u Locap Ivana pelan sementara tangannya menyodorkan ponselnya kepada Aditya agar ia bisa memeriksanya sendiri.
"Iya, aku tahu. Kalian ga deket sama sekali, sampe kamu aja susah untuk ngobrol sama dia," jawab Aditya masih menyodorkan helm-nya, kemudian Ivana menerima helm tersebut dengan perasaan yang masih sedikit mengganjal.
"Kenapa lagi?" tanya Aditya karena Ivana malah diam termenung ditempatnya berdiri.
"Aku minta maaf soal kemarin, aku marah-marah sama kamu," jawab Ivana pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Aku ga ngerti kenapa kamu begitu marah soal kemarin, Va? Jujur, aku sempet mikir mungkin kamu juga kecewa sama kenyataan kalau aku pernah menikah-"
"Engga, bukan itu Dit. Aku cuma kesel, karena aku takut orang tua aku mempermasalahkan hal itu," jawab Ivana dengan cepat. Sementara Aditya hanya diam sambil menahan napasnya. Ia menaruh kembali helm-nya di atas motornya sambil menaruh perhatiannya kepada Ivana yang hanya diam sambil memeluk helm-nya.
"Aku tahu kamu kecewa sama orang tua aku. Tapi mereka bukannya ga suka sama kamu Dit. Mereka cuma... Khawatir. Bagi mereka bercerai itu pasti ada masalah serius dari kedua belah pihak ..." Ivana berhenti sejenak ketika ia menyadari kalau ia sudah berbicara terlalu banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMITMEN
RomanceSeorang jurnalis berstatus freelance yang berada di ujung tanduk setelah ditinggal nikah oleh sang mantan. Ivana Nabila yang malang, bertemu dengan salah satu mantannya saat SMA, bernama Aditya. Perpisahan tak mengenakan mereka membuat perasaan dul...