KEJANGGALAN

2.2K 251 4
                                    

"Saya ga nyangka bisa papasan sama kamu di dalem bis." Ucap Bima terkekeh pelan.

"Sama." Jawab Ivana tersenyum sedikit kaku. Karena bagaimanapun, rasanya sangat aneh melihat seorang Bima menaiki bis - tanpa mobilnya.

"Lagi marahan sama pacar kamu? Kok pulang naik bis?" Tanya Bima meledek.

"Engga, engga kok. Cuma dia lagi banyak kerjaan di kantor. Dan saya ga mau ganggu dia." Jawab Ivana dengan cepat.

Bima malah tertawa mendengar jawaban Ivana yang sedikit panik itu. Entah karena apa.

"Kamu sendiri, bukannya kamu ada mobil?"

"Ada yang jahil, ban mobil saya dirobek. Kurang ajar emang." Jawab Bima tiba-tiba berubah menjadi kesal.
"Lagian sejak lulus SMA, rasanya udah lama saya ga pernah naik bis."

Ivana sendiri tak percaya akan ada orang yang melakukan hal sejahat itu dengan merusak kendaraan orang lain kecuali jika ada permasalahan serius mungkin.

"Saya denger, kamu lagi nulis berita soal penculikan anak di TK Elanior?" Tanya Bima seketika membuat perhatian Ivana beralih padanya.

"Iya, tadi sore baru wawancara sama pihak sekolah." Jawab Ivana. "Kok kamu tahu, Bim?"

Bima tertawa pelan kemudian membetulkan posisi duduknya agar tak terlalu tegang.
"Saya liat kamu pas wawancara. Kepala sekolah TK itu kan mama saya." Jawab Bima tersenyum kecil.

"Hah? Ya ampun, saya ga tahu kalau itu ibu kamu ternyata." Sahut Ivana terkekeh pelan.

"Kalau kamu tertarik sama berita kaya gitu, saya ada topik yang mungkin akan berguna buat tulisan kamu."

"Oh, ya? Apa?"

"Kejadiannya baru kemarin. Salah satu murid club Taekwondo saya hampir aja diculik. Tapi dia ngelakuin tindakan yang, yah... Cukup cerdas ya untuk seumuran anak perempuan usia 7 tahun." Jawab Bima menjelaskan dengan sangat santai kepada Ivana. Seolah ini bukanlah obrolan pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya.

"Apa yang dilakuin anak itu?" Tanya Ivana pelan.

"Waktu dibawa penculiknya, dia telepon panggilan darurat. Saya ga tahu cerita lengkapnya. Tapi anak itu berhasil kabur dan langsung ditemuin polisi sebelum ketangkep penculiknya lagi."

"Serius? Wah, ini sih berita bagus Bim."

"Ya, saya harap lewat artikel kamu bisa mengimbau para orang tua untuk kasih edukasi menangani keadaan-keadaan genting kaya begitu."

"Kamu bener, Bim. Apalagi kan masih banyak orang yang ga tahu soal panggilan darurat Indonesia." Jawab Ivana dengan bersemangat. "Oke, kalau gitu boleh saya minta nomor teleponnya atau alamat rumahnya?"

"Saya ga tahu soal itu. Kalau mau, besok kamu bisa dateng ke tempat latihan saya jam 01:00 siang. Ketemu sama anaknya langsung." Jawab Bima.

Ivana menganggukkan kepalanya setuju sementara tangannya sibuk menulis poin-poin yang sudah tergambar di benaknya mengenai pertanyaan-pertanyaannya nanti.

Kemudian Ivana tiba-tiba saja beranjak dari tempat duduknya ketika ia sudah sampai di halte menuju rumahnya.

"Saya duluan ya, Bim." Ucap Ivana sambil berjalan keluar dari bis.
Dengan buku catatan yang masih di tangannya, Ivana berjalan melewati halte di trotoar yang sepi.

Dering ponselnya tiba-tiba berbunyi telepon dari Aditya. Sayangnya, Ivana memilih untuk membiarkan ponsel tersebut terus berbunyi sampai akhirnya berhenti.

Jauh dalam hatinya, ia masih kecewa pada Aditya. Bahkan ia ingin sekali mengatakan kalau Aditya benar-benar khawatir padanya, kenapa dia tidak menjemputnya langsung?

KOMITMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang