Kalau dulu aku ditanya seberapa ingin membina rumah tangga, aku akan menjawab dengan tegas bahwa lebih dari delapan puluh persen keinginan dan kemampuanku untuk berumah tangga sudah mampuni.
Didalam islam, pernikahan itu banyak hukumnya. Bisa wajib, bisa haram, dan diperbolehkan untuk tidak menikah. Kalau haram itu bagi kita yang ingin menikah pure hanya untuk harta atau warisan. Kalau yang untuk diperbolehkan untuk tidak menikah itu bagi kita yang tidak memiliki dorongan untuk menikah dan belum mampu secara finansial untuk menafkahi seorang isteri. Dan wajib hukumnya jika seseorang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial.
Namun, jika ditanya kembali seberapa ingin aku berumah tangga, mungkin aku akan berpikir dulu sebelum menjawab.
Menikah itu tidak seperti apa yang aku bayangkan dulu. Hidup bahagia dengan suami dan diberi anak yang lucu. Lalu merasakan dicintai dan mencintai pasangan.
Nyatanya yang aku dapatkan adalah luka.
Luka yang aku kira hanya kecil, namun kian lama makin menganga. Sampai sampai aku tidak tahu bagaimana cara agar lukaku bisa tertutup rapat. Karna yang aku butuhkan saat ini adalah menutup luka dan bukan mengobati luka.
Aku perlu menutup dahulu, agar hanya aku yang tahu seberapa besarnya luka ku. Orang lain tidak perlu tahu, apalagi orang dibalik penyebab lukaku juga tidak boleh tahu.
Ini tubuhku dan lukaku.
Aku tidak akan membiarkan orang lain menjamahnya.
Saat ini aku sedang dikamar, dengan Mas Gata sudah menempati kasur, mungkin dia mau tidur. Aku harus mengajaknya bicara agar persoalan atau masalah kami setidaknya memiliki titik terang atau kejelasan walau aku yakin tidak akan pernah menemukan kata clear.
"Aku sudah memutuskan Mas..." Mas Gata menoleh kearahku disaat ia sedang bersiap siap untuk tidur.
Bahkan dari matahari masih terbit sampai tenggelam aku tidak mendengar sepeser pun kata Maaf dari Mas Gata.
But, its oke kalau dia merasa tidak melukai perasaanku.
Aku kan yang selalu salah karna selalu melibatkan hati dan perasaan?
"Apa?" Mas Gata bertanya sembari mencondongkan badannya ke arahku.
"Ayo punya Anak." kataku pelan. Mas Gata sampai membelalakan matanya karna mungkin takut keliru melihat mulutku sendiri yang mengucapkannya.
Aku melanjutkan kembali. "Besok jadwal ku suntik KB, dan aku gaakan pergi untuk suntik. Mari kita coba untuk punya anak." putusku akhirnya.
Aku akan mencoba sekali lagi, untuk memahami perasaan Mas Gata, aku akan mengabulkan keinginannya untuk memiliki anak.
Lagi lagi aku akan selalu ngertiin kamu dibanding diri aku sendiri. Itu termasuk kewajiban seorang istri bagi kamu kan?
"Maksud kamu?" Mas Gata masih terlihat bingung atas keputusanku yang begitu tiba tiba dan terkesan mendadak.
"Yaudah. Kamu kan mau punya anak, ya sekarang aku oke aja. Itung itung nyenengin kamu kan?" Aku bicara sinis.
Mas Gata menggelengkan kepalanya lalu berkata "Alasannya gak gitu juga lah Nye." Mas Gata lagi lagi menggelengkan kepalanya "Kalau kamu ambil keputusan cuma gara gara omongan saya mending tidak usah. Saya malah was was kalau tiba tiba ditengah jalan kamu jadi ga pengen punya anak, mengingat kamu ambil keputusan semendadak ini."
"Kenapa memangnya? Salah terus aku dimata kamu. Aku gamau punya anak kamu marah, giliran aku mau punya anak malah kamu yamg gamau. Mau kamu apasih Mas!" Aku berteriak lantang, mengabaikan tata krama. Bodoamat. Gaberlaku itu untuk orang kaya Mas Gata!
Mas Gata beranjak untuk duduk lalu pelan pelan mendekatkan diri kearahku.
"Gak gitu Maksud saya Nye"
"Terus Maksud kamu apa?" aku menyela cepat. "Seneng banget ya kamu Mas bikin aku sakit hati. Kamu tau ga sih aku tu capek Mas... Capek banget berusaha jadi apa yang kamu mau. Terus terusan ngertiin kamu."Aku menarik nafas sepanjang mungkin, berharap juga beban di pundak melewati kerongkongan lalu keluar lewat nafas yang aku hembuskan. Atau bila perlu setiap kata yang aku suarakan mewakili beban dipundak,biar langsung hilang waktu aku ucapkan.
"Aku capek Mas. Bisa gasih kamu hilangin rasa capek ku." Aku tergugu dihadapan Mas Gata. Namun Mas Gata hanga bergeming melihatku. Mungkin dia kaget, ini kali pertama aku terang terangan menangis dihadapannya.
"Kamu sekali aja lihat aku bisa ga sih Mas? Lihat aku hanya sebagai seorang Anyelir tanpa embel embel isteri kamu atau ibu anak kamu. Sekali aja Mas." Aku makin histeris saat Mas Gata tak berucap satu patah kata pun.
Ouh. Memalukan.
Ngapain mohon mohon untuk hal yang gak guna sih Nye!
Aku beringsut berdiri dan mengapus air mataku yang sudah membasahi nyaris semua mukaku, Namun tak sedikitpun bisa mengetuk hati Mas Gata.
Oke, Gak guna Anye!
"Aku tidur di kamar samping. Jangan ganggu aku." lalu aku mempercepat langkah kakiku untuk keluar dari ruangan sialan ini.
Brengsek!
Lagi lagi semua hanya sia sia.
Dulu aku selalu berharap aku diberi bahu yang kuat, untuk diriku dan orang orang disekitarku. Nyatanya, bahuku bahkan tak cukup untuk diriku sendiri.
Aku yang terlalu naif.
Ya. Aku memang naif.
Dari dulu bahkan sampai sekarang.
"Mama belum tidur?" Aku reflek menengok kebelakang disaat ada yang mengajakku berbicara.
Ternyata ada Venus di undakan tangga terakhir dengan mata bulatnya yang lucu.
Manisnya anakku.
Aku perlahan menghampiri venus dan mensejajarkan diri dengannya. Lalu perlahan memeluk makhluk kecil yang menjadi salah satu alasanku menikahi Papanya.
"Venus denger Mama teriak teriak. Venus kaget Mama. Jadi venus keatas." Venus berbicara saat aku mengangkatnya di gendonganku.
"Berat ya Venus udahan. Makan nya banyak ini." kataku bercanda sembari menjawil jawil hidungnya.
Biar dia melupakan sejenak pertanyaannya yang sedang tak ingin aku jawab.
"Enggak Mama. Venus makan dikit tapi gemuk..." Venus ikutan memberenggut
Aku membuka kamar disamping. Lalu segera rebah di kasur.
Untuk saat ini sudah cukup.
Aku ingin melupakan semua yang telah terjadi.
"Venus, kalau semisal nanti Mama pergi, venus gapapa kan gaada Mama?" Tanyaku sembari mengelus elus rambutnya. Rasanya berat hati kalau nanti harus meninggalkan venus.
"Emangnya Mama mau kemana?" Venus balik bertanya. Anak seusia venus ini memang lagi kritis kritisnya, makanya para orang tua termasuk aku harus pintar pintar mengolah kata, agar tidak menimbulkan makna lain dari arti yang sebenarnya.
"Gak kemana mana, udah yuk tidur. Tidur disini sama Mama ya sayang." aku memeluk venus erat.
Aku berani bersumpah aku menyayangi dengan sangat anakku ini.
Walau aku hanya sebagai ibu sambung. Tapi tidak semua ibu tiri atau ibu sambung seperti ibu tiri di dongeng.
Maka dari itu kita tidak bisa pukul rata definisi seorang ibu tiri.
Maaf semua saya telat update. Kemarin lusa saya kondangan ditempat teman, sampai lama pulangnya. Karna sembari kumpul sama teman teman yang udah lama ga ketemu. Terus setelahnya saya sibuk sama tugas harian saya.
Jangan lupa vote teman teman! Komen juga ya.
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balik Rasa
RomanceAku tak menyangka diusiaku yang ke dua puluh tujuh aku sudah memiliki dua orang anak remaja dan suami ya bersahaja. Aku disini akan menceritakan titik balik menjadi seorang istri dan ibu. Ngomong ngomong, aku akan memperkenalkan diri secara singka...