🌼 TW chapter 41

89.9K 12.3K 1.4K
                                    

Typo? Silahkan berkomentar!
Vote dan komen di setiap chapter ya guys

Enjoy!!
↓↓↓↓

Setelah bergelut dengan keegoisannya dan juga paksaan dari teman-temannya. Di sinilah Davero sekarang. Di dalam sebuah ruang inap rumah sakit, duduk memperhatikan perempuan yang terbaring lemah di brankar. Dengan perban yang membalut kepalanya.

"Kalo lo mau tidur, tidur aja." suara Vano menginterupsi.

"Hmm," jawab Davero. Ia masih menatap lekat Teresa yang terbaring.

Ya, tadi yang menghubunginya adalah Teresa, bukan Reina. Donny yang langsung ikut melihat siapa yang menghubunginya pun langsung memaksa Davero untuk menolong Teresa. Awalnya dia menolak. Seharusnya yang ia tolong adalah Reina dan Davin. Bukan Teresa.

Tapi teman-temannya tidak membiarkannya begitu saja. Akhirnya Davero mendatangi Teresa bersama Vano.

Ia dan Vano mendatangi Teresa ke apartemennya. Di sana ia menemukan Teresa sedang terduduk di lantai dengan tangan yang memegangi kepalanya, ada darah yang mengalir dari kepala Teresa. Bibir yang sobek. Baju yang sedikit berantakan. Dan Ia juga melihat lebam di tangan kiri Teresa. Tapi ia tidak menemukan siapapun di apartemen itu.

Dirinya dan Vano langsung membawa Teresa ke rumah sakit. Di perjalanan, Teresa tidak sadarkan diri sampai sekarang. Sebenarnya Davero tidak ingin mengurusi Teresa karena sekarang yang lebih penting adalah Reina yang menghilang.

Tapi dia juga tidak mempunyai kontak untuk menghubungi Mamanya Teresa. Empatinya juga bekerja setelah melihat Teresa, ia tidak bisa membiarkan Teresa di sini sendirian.

"Tenang, besok kita bisa dapet informasi keberadaan Pak Rendi dari dia," ucap Vano.

Davero mengangguk kecil. Benar juga ucapan Vano.

Menunggu Teresa sadar lalu menanyakan apakah perempuan itu mengetahui keberadaan Papanya.

//-//

Begitu mengetahui keberadaan Reina, tanpa berpikir dua kali Davero langsung memacu mobilnya untuk mendatangi tempat itu. Sebuah gedung tua bertingkat yang memiliki banyak ruangan di dalamnya. Kegelapan langsung menyapanya sesaat setelah ia memasuki gedung itu.

"Rei? Sayang? Kamu di sini?"

"Papa cakit,"

"Davin? Sayang? Kamu di mana?" suara Davero bergetar mendengar suara Davin. Ia merindukan putranya.

"Papa gelap, Davin tatut,"

"Davin di mana?"

Davero mencoba berjalan dan mencari-cari suara Davin.

"Anan Davin cakit Pa,"

"Mama, Mama hiks,"

"Mama angan inggalin Davin hiks,"

"Sayang? Davin? Davin bisa denger suara Papa?" Davero menyusuri ruangan-ruangan gelap yang ada di sekitarnya. Membuka pintu-pintu itu dengan kasar.

"Mamaa,"

"Davin sama Mama? Davin di mana?" Davero mempercepat gerakannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Kekhawatiran itu semakin membuncah di kala teriakan Davin mengudara di telinganya.

"Mamaaaa!"

Davero tersentak bangun. Ternyata hanya mimpi. Tapi itu terasa sangat nyata. Ketakutan itu, ketakutan itu begitu terasa. Bagaimana ia menyusuri ruangan itu, ia merasa benar-benar sedang melakukannya.

THE WAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang