Bab 4

300 26 0
                                    

Renata melihat notifikasi masuk ke ponselnya. Lokasi yang dikirimkan Andra. Sebuah warung modern di sebelah Barat kota, tak seberapa jauh dari rumahnya. Dia bisa sampai dalam 15 menit.

Tanpa mengganti pakaiannya, Renata meraih kunci mobilnya lalu mengendarainya menuju lokasi yang ditunjuk Andra. Gerimis yang lembut mulai turun. Gadis itu sedikit menggigil. Karena cuaca dan karena emosi yang ditahannya sejak semalam.

Tiba di tempat yang mereka sepakati, Andra sudah menunggunya. Wajah lelaki itu terlihat kusut.

Andra memandang gadis yang baru datang dan menarik kursi di hadapannya. Suasana warung masih sepi. Ini masih terlalu pagi untuk warung itu  membuka layanan.

Seorang pelayan datang dan mereka memesan.

Andra menunduk. Renata juga hanya diam. Mereka memang sama-sama pendiam dan dingin. Tapi diamnya mereka kali ini lain dari biasanya. Ada kecanggungan terselip di sana.

Andra berdehem, memecah kebisuan. Beberapa detik Renata melihat ke arahnya sebelum akhirnya membuang pandangan keluar.

Pelayan datang mengantar pesanan mereka. Renata mengucapkan ‘terima kasih’ dengan suara lirih.

“Tadi malam mama datang ke apartemen,” Andra memecah kebisuan.

“Mungkin tante Widuri juga sudah bicara sama kamu apa yang sudah mama bicarakan ke aku.”

Renata masih membisu. Ia ingin tidak pernah ada di situasi ini. Ingin tidak pernah mencintai Andra. Ingin tidak pernah mengenal Andra.

Selama ini Renata tidak pernah merasa mencintai Andra dalam diam itu menyakitkan. Tidak masalah baginya cintanya bertepuk sebelah tangan.

Namun saat ibunya menyodorkan perjodohan, ia merasa dibangunkan dari tidur. Rasa yang ia pendam mulai memberikan rasa sakit.

Jika ia menerima, maka keinginannya tercapai, ia senang. Tapi pasti Andra akan menderita. Ia tidak sejahat itu bersuka cita di atas penderitaan orang lain.

Ia tahu ia harus melepaskan Andra. Melepaskan semuanya, bahkan dari rasa yang selama ini tersembunyi dengan rapat di hatinya. Dan ternyata itu sangat sakit. Renata menghela nafas.

“Aku tahu apa yang yang harus aku lakukan Ndra. Jangan kawatir, aku akan lakukan sebisaku. Kamu akan tetap bersama Ratih,” katanya.

Andra menatapnya tepat di manik mata hitam itu. Dia baru menyadari mata Renata sangat indah. Hitam kelam dan misterius. Seolah apa yang tenggelam di sana tak akan bisa bangkit keluar lagi.

Andra menangkap sedikit rasa lelah dalam suara teman sekaligus sekretarisnya ini. Gadis ini berkali-kali menyelamatkannya. Tidak hanya di perusahaannya, tapi juga di kehidupan pribadinya. Berkali-kali gadis ini berperan dalam pasang surut hubungannya dengan Ratih kekasihnya. Renata selalu punya solusi. Di otak gadis ini seolah tertanam suatu chips yang berisi berbagai program untuk menyelesaikan masalah. Andra sendiri kadang lupa bahwa makhluk di depannya ini seorang gadis, seorang manusia yang terdiri dari tulang, daging dan darah, yang mempunyai perasaan dan memiliki rasa lelah.

“Aku tidak bermaksud...,” Andra menghentikan sendiri kalimatnya. Tiba-tiba blank, ia tidak tahu ingin bicara apa tadi.

“Aku tahu. Ini memang harus kita lakukan kan? Menolak perjodohan ini supaya tidak ada yang terluka,” kecuali hatiku, sambung Renata dalam hati.

“Terima kasih Ren. Kamu memang teman terbaikku. Kamu paling mengerti aku,” sahut Andra.

Memang begitulah. Tidak hanya Andra, Kevin pun merasa Renata paling mengerti dirinya. Kadang gadis itu bahkan sudah menyodorkan solusi tanpa diminta jika mereka mempunyai masalah.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang