Bab 18

242 26 0
                                    

Yudha Sinatria Lukman memarkir mobilnya lalu terburu-buru melangkahkan kakinya memasuki sebuah kampus ternama di London. Dia baru saja meraih gelar masternya. Hari ini batas akhir mengurus keperluan wisudanya.

Petugas bagian administrasi mendelik karena ia mengurus semua di batas akhir. Akhir-akhir ini ia harus mengurus ibunya yang sedang sakit sehingga baru sempat mengurus wisudanya hari ini. Tapi percuma juga menjelaskan pada petugas di depannya. Dia pasti dituduh hanya mencari-cari alasan.

Selesai dengan urusannya ia berjalan lagi menuju tempat mobilnya diparkir. Ada dua orang gadis berjalan berlawanan arah dengannya. Satu gadis Arab dengan kerudung abayanya dan yang satu sepertinya dia kenal. Keduanya sedang asyik berbincang dengan bahasa Arab.

“Renata?” Kedua gadis itu berhenti dan menengok ke arahnya. Yang satu segera mengenalinya.

“Yudha!” serunya sambil tersenyum. Mereka berjabat tangan. Ia mengatakan sesuatu kepada temannya dan temannya tersenyum.

“Kamu kuliah di sini?” tanya Yudha.

“Tidak. Aku hanya menemani Fatima. Dia akan mendaftar kuliah di sini.”

“Mm Renata, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu waktu itu. Dokter bilang tindakanmu itu yang menyelamatkan nyawa ibuku.”

Renata tersenyum. “Sama-sama. Tidak usah terlalu dipikirkan. Semua karena Tuhan. Tuhan yang menempatkanku di situ saat ibumu butuh pertolongan dan Dia juga yang memberiku pengetahuan tentang cara menolong ibumu.”

“Bagaimana jika kutraktir makan siang? Sebagai ucapan terima kasih. Ajak temanmu sekalian jika dia mau.”

Renata berbicara sejenak dengan temannya. Lalu temannya pergi setelah mereka saling melambaikan tangan.

“Fatima harus mengurus pendaftarannya sekarang. Kalau terlambat beasiswanya akan dicabut,” jelas Renata.

“Oke. Ayo kita pergi sekarang!”

Mereka naik mobil Yudha. Yudha mengemudi dengan kecepatan sedang.

“Kamu sudah lama di London?” tanya Yudha memecah kebisuan.

“Baru sekitar sebulan. Aku belum pernah ke sini jadi waktu Fatima bilang mau mendaftar kuliahnya di sini aku ikut,” jawab Renata.

“Kalian bertemu dimana? Dia orang Arab kan?” tanya Yudha penasaran.

“Di pengungsian.” Renata tertawa melihat wajah bingung Yudha. “Fatima sukarelawan PBB. Dia membantu penyaluran bantuan untuk pengungsi. Waktu itu aku ikut bersama Rachel temanku yang lain, relawan juga. Lalu kami berteman. Karena aku bisa bahasa Arab, kami jadi akrab.”

“Kamu juga relawan?” tanya Yudha penasaran.

“Resminya bukan. Aku ikut dengan biayaku sendiri. Di sana aku bisa membantu sekaligus mendapatkan foto-foto yang aku inginkan,” jawab Renata.

Mereka tiba di sebuah kafe yang lumayan ramai. Setelah memesan mereka kembali bercakap-cakap.

“Jadi kamu fotografer?” tanya Yudha.

”Bahasa kerennya sih gitu,” Renata terkekeh pelan. “Aku memanfaatkan hobiku untuk menghasilkan uang.”

“Apa yang biasanya kamu potret?

“Apa saja yang menarik perhatianku. Karena aku perempuan, biasanya aku suka sesuatu yang menyentuh dan indah.”

Pesanan mereka datang.

“Sekarang orang memotret dengan ponsel,” kata Yudha lagi. “Banyak ponsel yang dilengkapi kamera canggih. Biasanya kaum wanita suka ponsel model begitu. Kaum pria biasanya lebih suka yang bisa menunjang pekerjaan mereka.”

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang