Bab 21

246 28 0
                                    

Kenan masuk ruang atasannya dengan langkah lebar. Ia meletakkan sebuah amplop coklat di hadapan Wisnu.

“Laporan penyelidikan Nona Diana Tuan.”

Wisnu mengambil dan mengeluarkan isinya. Dia membacanya dengan teliti. Kadang alisnya mengkerut, kadang wajahnya kelihatan marah. Benar dugaannya, Diana banyak melakukan manipulasi dan melakukan mark up rencana pembiayaan pamerannya. Dana yang diajukan lebih mahal dari harga seharusnya. Wisnu geram.

“Biarkan dia menikmati pamerannya yang terakhir. Sesudah itu bekukan rekeningnya!” perintah Wisnu.

“Baik Tuan.” Kenan berlalu. Wisnu mengepalkan tangannya geram.

♤♤♤

Renata berjalan di jalanan kota London. Kali ini ia berjalan sendiri. Fatima temannya sedang belajar karena akan ujian. Dia menyusuri tempat dimana para seniman jalanan mengekspresikan diri. Ada pantomim, musik jalanan, pengamen, bahkan pelukis.

Renata berhenti di dekat seorang pemuda. Pemuda itu sedang memberikan sentuhan akhir pada lukisannya. Lukisan itu indah sekali dan mengingatkan pada dirinya. Lukisan sebatang pohon mati di musim semi dimana di sekelilingnya bunga-bunga bermekaran dan tunas-tunas mulai tumbuh.

“Indah sekali,” desisnya tanpa sadar.

Sang pelukis menoleh. “Aku berharap ada yang membelinya dengan harga tinggi,” katanya.

“Hei, siapa namamu?” tanya Renata.

“Miguel,” jawabnya. Mereka saling berjabat tangan.

“Kau pasti akan mendapat harga yang pantas untuk itu Miguel. Itu indah sekali,” puji Renata sekali lagi. “Boleh aku memotretmu? Aku ingin mengenang kalian, kau dan lukisanmu.”

Miguel tertawa. “Baiklah. Untuk teman,” ujarnya.  Renata mengambil beberapa potret pemuda itu beserta lukisannya.

“Terima kasih Miguel. Semoga kau sukses dan berhasil membangun galerimu sendiri,” katanya sambil menepuk pundak Miguel. “Aku pergi dulu!”

“Hei! Siapa namamu?!”

“Renata!”

♤♤♤

Wisnu memasuki sebuah galeri dengan langkah pelan. Dia berjalan dengan tangan tertaut di belakang punggung. Wajahnya datar. Kenan mengekor di belakangnya dengan setia.

Seorang wanita cantik menyambutnya. “Sayang, kau datang.”

Diana melingkarkan tangannya ke lengan Wisnu dan membawanya masuk.

Pengunjung kali itu lumayan ramai. Wisnu melihat-lihat tanpa minat. Akhir-akhir ini kualitas lukisan Diana menurun. Sikapnya juga disebabkan karena kekesalannya pada Diana yang berusaha menipunya.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang menarik minatnya. Sebuah lukisan cat minyak menghipnotisnya. Melihat lukisan itu membuatnya teringat pada seseorang yang hingga saat ini ingin sekali ditemuinya. Lukisan sebatang pohon mati di musim semi.

Diana yang sedang memperhatikannya tahu bahwa Wisnu sedang tertarik pada salah satu lukisan yang dipamerkannya. Senyum licik mengulas di bibirnya.

“Kau tertarik Sayang?” bisiknya di telinga Wisnu.

Wisnu masih memandangi lukisan itu. “Berapa harganya?” tanyanya dingin.

“Bagaimana kalau 100 ribu?” jawab Diana.

“Dolar?”

“Euro.”

“Kenan, urus pembayaran dan bawa lukisan itu.”

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang