Bab 9

311 33 0
                                    

Wisnu memandang gadis di depannya. Dalam 35 tahun kehidupannya ia selalu bergelimang harta. Ia tidak pernah merasakan kekurangan. Ia tidak pernah membayangkan seperti kisah Renata, hanya memiliki uang seratus ribu dan tidak mempunyai kartu kredit atau ATM.

Tidak seorang pun di sekitarnya yang pernah bicara seperti cara bicara Renata padanya.

Pesanan mereka datang. Wisnu memakan makanannya dengan lahap. Renata menyuruhnya mencoba makan menggunakan tangannya langsung supaya lebih nikmat. Wisnu sangat menikmati sensasinya meskipun makannya jadi berantakan dan belepotan. Pertama kali dalam hidupnya Wisnu tidak memikirkan citranya di hadapan orang lain.

Renata makan rawon pesanannya. Ia menyentuh tangan Wisnu, menunjukkan makanannya. “Ini yang namanya rawon,” katanya. “Mau coba?”

Wisnu kelihatan ragu. Renata mengambil sendok yang tidak digunakan Wisnu. Ia mengambil sesendok nasi rawon dan menyodorkannya pada Wisnu. Wisnu memandangnya dan ia hanya tersenyum. Ragu-ragu Wisnu membuka mulutnya dan memakan rawon itu, mengunyahnya perlahan dan menelan.

“Enak?” Wisnu mengangguk dengan mata berbinar. “Mau lagi?”

Renata mengambil sesendok lagi dan menyuapkannya pada Wisnu.

Wisnu menghabiskan pesanannya sendiri dan setengah pesanan Renata. Ia merasa malu dan tak enak ketika menyadarinya. Renata hanya tersenyum menenangkan.

Sesudah makanan mereka habis, mereka melanjutkan mengobrol sembari menikmati minuman yang mereka pesan.

“Kamu tahu,  dulu kukira kamu seorang yang dingin dan acuh. Pada pertemuan pertama kulihat kamu begitu efisien dan tidak manusiawi. Aku sangat ingin merekrutmu menjadi sekretarisku. Aku bahkan menyuruh Kenan mencari cara untuk membajakmu,” kata Wisnu. Renata menaikkan alisnya tinggi.

“Tapi selanjutnya aku merasa  kamu mempunyai sesuatu yang kamu simpan atau sembunyikan dari orang-orang di sekitarmu.”

Renata memainkan sendok kecil mengaduk jusnya. Wisnu mungkin seorang yang peka karena menyadari keadaannya secepat itu. Atau mungkin ia memang mempelajari ilmu psikologi untuk mengenali karakter seseorang demi kepentingan bisnisnya.

“Apa keinginanmu yang belum terwujud Renata?” tanya Wisnu tiba-tiba setelah jeda beberapa saat.

Renata terdiam. Wajahnya terlihat sendu. Wisnu memperhatikan perubahan itu. Ia coba menebak apa yang ada di benak gadis itu.

“Aku ingin menikmati hidup,” sahut Renata setelah berdiam diri beberapa lama.

“Apa selama ini kau belum menikmati hidupmu?” tanya Wisnu.

Renata menyesap jusnya. Matanya lurus menatap wajah Wisnu. Lelaki itu sedang memandangnya penuh rasa ingin tahu. Baru kali ini Renata mendapati seseorang yang ingin tahu tentang dirinya. Ia tersenyum dengan wajah merona.

Dialihkannya pandangan sebelum menjawab. “Maksudku, aku ingin berada di suatu tempat, hanya bersama diriku sendiri. Tidak ada masa lalu, tidak ada juga masa depan. Hanya diriku. Meskipun hanya satu menit, aku ingin menikmati diriku untuk diriku sendiri. Sesaat saja, aku ingin egois. Tidak perlu berpikir tentang orang lain, tidak perlu merasa bersalah, hanya aku.”

Wisnu memandang gadis di depannya yang membuatnya semakin penasaran. Apa sebenarnya yang sudah dilalui gadis ini di usianya yang  belum mencapai seperempat abad?

Wisnu mengantarkan Renata pulang ke rumahnya. Hari sudah larut, rumahnya sudah kelihatan sepi.

“Terima kasih untuk traktiran dan tumpangannya,” ujarnya manis sebelum turun.

“Aku juga berterima kasih. Ini malam yang paling menyenangkan yang pernah kualami.  Oya, besok aku sudah harus pulang ke Singapura. Mungkin akan lama aku baru bisa berkunjung ke sini lagi. Aku harap jika kita bertemu lagi, kamu tidak lupa bahwa kita teman,” balas Wisnu.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang