Bab 24

292 32 0
                                    

Renata mengemasi barang-barangnya. Semua dijejalkannya begitu saja ke dalam tasnya, tidak lagi ditata dengan rapi. Setelah selesai, ia merebahkan diri di ranjang dengan kaki menjuntai, memandang langit-langit kamar penginapannya.

Renata teringat lagi pertemuan dengan ayah kandungnya tadi. Di masa lalu ia sering membayangkan bagaimana ayah kandungnya itu. Bibi Rahma pernah mengatakan ia mirip ayah kandungnya. Seperti cetakan, hanya saja ia perempuan. Akan tetapi ia tak pernah tahu wajah asli ayahnya. Ibunya membuang semua foto ayahnya. Tidak menyisakan secuil pun.

Dalam hati kecilnya sebenarnya ia berharap ayahnya tidak benar-benar tidak mengakuinya. Ia berharap ayahnya mengawasinya dari jauh, dan tahu tentang dirinya meskipun hanya sedikit.

Tapi pertemuan tadi menghempaskannya pada kenyataan bahwa ayahnya memang tak menghendaki dirinya, tidak pernah memikirkannya sedikit pun. Luka hati Renata semakin menganga, tapi ia tak bisa menangis. Ia sudah sangat terbiasa tidak mempunyai sandaran, tempatnya menangis. Ia sudah biasa sendirian.

Pintu yang memang tak tertutup rapat terbuka. Renata melihat Wisnu berdiri di sana, memandangnya dengan lembut. Renata bangkit, duduk di tepi ranjang. Mata Renata yang tadinya kering tiba-tiba mengembun. Ia tidak pernah ditatap seperti itu, bahkan oleh ibunya sendiri.

Wisnu masuk, duduk di tepi ranjang. Tanpa berkata-kata ia memeluk Renata, membiarkan gadis kecilnya menangis di dadanya.

Lama Renata menangis, menumpahkan segala kesedihan, amarah, kecewa, dan rasa lelah. Wisnu membiarkannya saja begitu. Setelah tahu apa yang sudah ditanggung gadisnya selama ini, ia tak ingin kehilangan lagi.

Setelah puas menangis, Renata menjauhkan tubuhnya dari dada Wisnu dan mengusap pakaian yang basah oleh air matanya.

“Maaf, bajumu jadi kotor,” bisiknya dengan suara serak.

Tanpa kata-kata, Wisnu membenamkan kembali tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya membelai kepala Renata dengan lembut, membuat gadis itu merasa nyaman.

“Aku jadi ngantuk,” cicitnya.

Wisnu tersenyum samar. “Kalau begitu tidurlah, aku akan menjagamu.”

“Tapi aku harus ke New York malam ini,” kata Renata.

“Tidak bisa dibatalkan?”

Renata menggeleng. Ia masih berada dalam pelukan Wisnu. “Dalam minggu ini kami akan ke Gaza. Lalu mungkin ke Ethiopia jika aku bisa mendapatkan visa.”

Wisnu meletakkan dagunya di kepala gadis dalam pelukannya. “Berapa lama?”

“Paling lama satu bulan.”

Satu bulan lebih baik daripada penantian satu tahun tanpa kepastian yang sempat dialaminya.

“Baiklah. Tapi sesudahnya kau harus pulang,” kata Wisnu.

“Pulang kemana? Aku tidak punya rumah.”

“Ke tempat calon suamimu ini menunggu.”

“Apakah kamu akan terus menungguku?”

Wisnu melepaskan pelukannya agar ia dapat memandang gadisnya.

“Percayalah padaku. Aku akan menjagamu. Setelah semua berlalu, kita akan terus bersama. Aku akan menemanimu kemana pun kamu ingin pergi.”

“Sungguh?”

Wisnu mengangguk. “Ya. Jadilah gadis baik. Setelah semua selesai, pulanglah! Kita akan menikah.”

Renata menatap wajah Wisnu. Pipinya bersemu ketika Wisnu mengatakan ‘menikah’, dan itu ditangkap oleh mata Wisnu. Ia pun tersenyum.

“Tapi aku tidak ingin pamanmu hadir,” ujar Renata lirih. “Bisakah saat menikah hanya kita berdua saja? Maksudku selain yang menikahkan kita dan para saksi.”

“Apa pun yang kau inginkan,” jawab Wisnu.

Renata terus tenggelam dalam pelukan Wisnu, merasa sangat nyaman, tak ingin melepaskan. “Mengapa dadamu nyaman sekali?”

“Kalau begitu tetaplah begini, dalam pelukanku.”

Renata menggeliat dalam pelukan Wisnu, berusaha melepaskan diri. Wisnu menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Aku harus bersiap. Sebentar lagi aku harus ke bandara,” kata Renata seraya bangkit. Wisnu melepasnya tak rela. Renata segera mandi dan bersiap.

Setelah siap,  Renata menggendong ranselnya dan membawa tasnya yang berisi perlengkapan kamera. Tak lupa ia membawa jaket untuk berjaga-jaga dari hawa dingin.

Melihat ransel yang cukup berat dalam gendongan Renata, Wisnu mengambil alih.

“Tidak usah. Aku bisa sendiri,” tolaknya.

“Sudahlah. Nanti kalau tidak ada aku, kamu bisa membawanya sendiri.” Akhirnya Renata mengalah karena tak mau berdebat.

Wisnu mengantarnya ke bandara. Dalam perjalanan mereka lebih banyak diam. Renata masih dipengaruhi oleh pertemuan dengan ayah kandungnya tadi. Sedangkan Wisnu, banyak sekali yang dipikirkannya. Masalah penipuan oleh Diana, kenyataan tentang ayah dan ibu Renata yang baru diketahuinya, juga kepergian Renata sebentar lagi.

Sebelum mereka tiba di bandara, Wisnu menggenggam tangan Renata. Tangan itu dingin. Wisnu memandang gadisnya sendu.

“Apa yang kau pikirkan?”

Yang ditanya hanya menggeleng lemah.

Wisnu merangkulnya dan memberi kecupan di kepala.

“Tak usah memikirkan apa pun. Pulanglah dengan selamat. Aku menunggumu.”

Renata hanya mengangguk lagi.

Wisnu menatap gadisnya yang melangkah semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di tengah orang yang lalu lalang di bandara yang luas itu. Ia mendesah. Separuh jiwanya dibawa pergi.

♤♤♤

Kenan mengetuk pintu ruangan bosnya. Bersamanya berdiri seorang pria kurus dengan tinggi badan sedang, memakai kacamata  berbingkai besar sehingga matanya terlihat seperti mata burung hantu.

Mereka masuk setelah dipersilahkan oleh si empunya ruangan.

“Mr. Abidin Khan Sir,” Kenan memperkenalkan tamunya. Seorang kurator lukisan dari Museum Seni.

Wisnu menyalami tamunya dan mempersilakannya duduk di kursi rendah di depan meja kerjanya.

“Saya rasa asisten saya sudah menjelaskan alasan saya meminta pertolongan Anda Tuan Khan,” Wisnu menjelaskan langsung ke inti persoalan.

“Betul Tuan,” jawab tamunya. “Apa saya bisa langsung  melihat barangnya Tuan?”

Wisnu mengangguk dan mengeluarkan sesuatu dari balik mejanya.

“Ini dia. Anda sudah membawa peralatannya?”

Mr. Khan mengamati benda yang ditunjukkan Wisnu.

“Lukisan yang indah.” Mata profesional Mr Khan bisa melihat keindahan lukisan itu. Ya, itu adalah lukisan yang sangat disukai Renata, yang dibeli Wisnu dari Diana.

Mr. Khan mengeluarkan berbagai peralatan dari dalam tasnya. Ia mengamati sudut bawah lukisan, tempat dimana para pelukis biasanya menunjukkan identitasnya. Mata profesionalnya bisa melihat ada yang janggal di situ.

“Di bagian ini catnya lebih baru dari keseluruhan lukisan. Kelihatannya beberapa waktu setelah lukisan ini dibuat, identitas aslinya disembunyikan,” ujar Mr. Khan lebih menyerupai gumaman.

Wisnu dan Kenan diam mengamatinya. Mereka memang tidak menceritakan bahwa mereka mencurigai Diana telah menipu.

Mr. Khan memakai sarung tangannya. Dia memegang sebuah penjepit yang sudah ada kapas di ujungnya. Dituangnya dengan hati-hati cairan dari sebuah botol lalu dengan hati-hati pula ia mengusapkan kapas itu ke tanda tangan di lukisan itu. Ia terus mengusapkan kapas itu dengan hati-hati hingga cat dimana terdapat tanda tangan Diana memudar dan akhirnya apa yang tadinya tertutupi dapat kelihatan dengan jelas.

“Voila!”

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang