Bab 6

262 28 0
                                    

Wisnu Angkasa Wirawan duduk tenang di maybach hitamnya sambil matanya tak lepas dari layar ipadnya memantau pekerjaannya. Mobil itu sedang berhenti di depan sebuah toko bunga. Di sebelah toko bunga itu ada sebuah toko kue dan cake yang cukup terkenal. Ekor matanya melihat seseorang  memasuki toko kue. Seseorang yang rasa-rasanya dikenalnya. Wisnu menurunkan ipadnya dan memandang ke pintu toko.

Kenan datang membawa buket bunga mawar merah sepemeluk besarnya. Ia memang menyuruh asistennya untuk membelinya tadi. Ia bermaksud mengunjungi Diana. Wanita yang sudah tiga tahun menjalin hubungan dengannya itu sedang mengadakan pameran lukisan. Ia ingin memberikan kejutan pada gadis yang berprofesi sebagai pelukis itu.

“Kita berangkat Tuan?” sapaan Kenan menyadarkannya.

Wisnu mengangkat tangannya, menyuruhnya menunggu.

Orang yang ditunggunya keluar dari toko kue dan masuk ke toko bunga.

Wisnu keluar dari mobilnya dan ikut masuk ke toko bunga, membuat Kenan melongo. Tadi saat membeli bunga, ia yang harus turun. Sekarang bosnya malah masuk ke toko bunga. Apa lagi yang hendak dibelinya? Seharusnya Kenan meniru Renata membuat daftar keanehan orang kaya supaya tidak mudah merasa heran.

Renata sedang memesan beberapa karangan bunga ukuran sedang untuk meja dan beberapa ukuran besar untuk dekorasi di pintu masuk rumah Ratih. Ia menuliskan alamat kemana bunga-bunga itu harus dikirim. Disodorkannya kartu platinum milik Andra sebagai alat pembayaran.

Ketika berbalik hendak keluar, ia menabrak seseorang yang berdiri tepat di belakangnya. Orang itu berperawakan tinggi, dahinya membentur dagu orang itu.

“Ouch!”seru orang itu menahan sakit karena benturan.

“Maaf Tuan saya tidak sengaja,” kata Renata sambil membungkuk sopan.

Tiba-tiba lengannya dicekal dan dia dibawa keluar. Renata mengangkat wajahnya saat mereka berhenti di luar toko.

“Tuan?!” serunya heran mendapati ternyata Wisnulah yang sedang bersamanya.

“Kita bertemu lagi Nona Renata,” kata Wisnu dengan senyum smirknya.

“Selamat siang Tuan,” jawabnya sambil menggerakkan lengannya berusaha melepaskan cekalan Wisnu. Wisnu melepaskannya.

“Bagaimana jika kita makan siang Nona? Jika Anda punya waktu luang,” tawarnya.

“Maaf Tuan. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan siang ini,” tolaknya halus.

“Bagaimana jika makan malam?” kejarnya lagi. Renata menatap lurus pria di depannya. Berbagai hal berkecamuk dalam pikirannya.

Ada apa dengan orang kaya satu ini? Mengapa ia begitu ngotot mengajaknya makan? Ia hanya seorang sekretaris dan merasa tak sebanding dengan pria kaya raya itu. Bukan untuk alasan romantisme, tapi sekedar berteman pun ia merasa tak pantas.

“Saya banyak kesibukan Tuan. Maafkan saya,” katanya antara heran dan merasa tidak enak.

“Untuk sekedar makan malam pun tak bisa?”

“Maaf. Maafkan saya. Tapi akan ada perayaan besar di perusahaan kami. Saya harus mempersiapkannya dengan benar.”

Wisnu kelihatan kecewa.

“Padahal besok saya harus sudah kembali ke Singapura,” ujarnya. Ia menghela nafas dan memasukkan tangannya ke saku celana. “Baiklah. Semoga lain kali kita punya kesempatan untuk makan bersama Nona.”

Renata mengangguk sambil tersenyum tipis. Wisnu menatapnya tidak percaya. Selama perkenalannya dengan gadis ini, baru kali ini ia melihat senyumnya. Itu pun sangat tipis.

Wisnu mengangguk lalu kembali ke mobilnya. Renata memandang mobil itu berlalu dari pandangannya dengan berjuta pertanyaan bercokol di kepalanya.

“Telepon dari Nona Diana, Tuan. Beliau menanyakan Anda,” pemberitahuan Kenan menyambutnya di dalam mobil.

Wisnu mengibaskan tangannya. “Kita langsung ke tempat Diana.”

Kenan mengangguk dan mulai melajukan mobil mewah itu.

“Kenan, kau tahu alamat gadis itu?” tanya Wisnu tiba-tiba.

“Siapa Tuan? Nona Renata?” tanya Kenan memastikan.

“Hm.”

“Tahu Tuan.”

“Besok kirimkan bunga ke rumahnya. Kira-kira dia suka bunga apa?”

Kenan terdiam.

“Dia seorang gadis sederhana. Kirimkan buket bunga lili yang tidak terlalu besar,” kata Wisnu lagi.

“Baik Tuan. Apa yang harus saya tulis di kartunya?”

“Tidak usah menuliskan apa-apa. Jangan tuliskan namaku sebagai pengirimnya. Biar dia merasa memiliki seorang secret admirer.”

Kenan melirik bosnya lewat kaca spion bagian tengah. Dilihatnya bosnya sedang tersenyum sambil melamun. Kenan tidak pernah melihat bosnya seperti ini. Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada bosnya?

♤♤♤

Dua hari Renata sibuk dengan persiapan lamaran Andra. Ia sibuk mempersiapkan banyak hal di samping sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Beberapa hal bisa ia delegasikan kepada stafnya, namun ada beberapa hal yang tetap harus ia tangani sendiri.

“Johan, antarkan desain ini ke ruangan Pak Kevin,” instruksinya kepada salah satu stafnya. Lalu bawa yang sudah dikoreksi ke bagian desain. Meyta, bawa laporan ini ke divisi keuangan. Suruh mereka hitung ulang. Banyak sekali kesalahan di sini.”

Renata memijit pelipisnya. Sebentar lagi ia ada janji dengan perusahaan katering untuk pengecekan terakhir makanan yang akan dihidangkan nanti malam saat lamaran. Heran dia, bahkan untuk konsumsi mengapa harus pihak Andra juga yang menyiapkan? Lalu apa yang dikerjakan pihak keluarga Ratih?

Ia juga sudah menelepon pihak butik untuk mengirimkan baju yang akan dipakai Andra dan Ratih nanti malam ke alamat mereka masing-masing.

Setelah acara lamaran ini selesai, ia harus mempersiapkan pernikahan Andra. Renata tidak tahu kapan ia bisa istirahat. Ia sudah punya daftar keinginan Andra untuk pesta pernikahannya nanti. Memang mereka menggunakan jasa WO, tapi tidak semua orang bisa mengerti kemauan Andra. Dan selama ini Renatalah yang bisa mewujudkan ide-ide di kepala Andra.

“Sibuk Ren?” sapa Kevin tiba-tiba. Lelaki itu ada di ambang pintu ruangannya.

Renata menatapnya sekilas.

“Seharusnya Andra tidak membebanimu dengan urusan pribadinya,” gerutu Kevin.

Renata mendengus. “Kau pun pasti akan melakukannya bila ada kesempatan,” ejek Renata.

“Iya sih,” jawab Kevin ringan.

Seorang OB menginterupsi mereka. Ia membawa buket bunga lili dan mawar putih yang sangat cantik. “Kiriman untuk mbak Renata,” ujar si OB.

Ia meletakkannya di meja Renata. Gadis itu memandang rangkaian bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Terima kasih Yuk,” katanya pada si OB.

“Kenapa?” tanya Kevin. “Kamu melihatnya horor begitu.”

“Kemarin aku mendapat bunga seperti ini, tapi dikirim ke rumah.”

“O ya?”

Kevin membolak-balik buket bunga itu, mencari nama si pengirim.

“Tidak ada nama pengirimnya. Kemarin juga begini,” kata Renata.

Your secret admirer Ren,” ujar Kevin.

Renata hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang