Bab 19

234 30 0
                                    

“Kalau kamu ketemu bunda, apa bunda pernah menanyakan Kakak?” tanya Renata sambil menatap adiknya intens.

Jovanka tercekat. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. “Tidak  Kak,” jawabnya lirih. Ia tahu ini menyakitkan bagi kakaknya.

“Biar bunda bahagia Jo, dengan semua yang sudah dicapainya. Kakak tidak mau kehadiran Kakak mengurangi kebahagiaan bunda.”

“Bukan begitu Kak. Kakak kan juga anak bunda. Kakak berhak dapat perhatian bunda.”

Renata mengelus rambut panjang adiknya.

“Kamu naif Jo,” bisiknya dalam hati.

“Bunda masih marah sama Kakak. Jadi sementara ini biar Kakak menjauh dulu. Suatu saat Kakak pasti akan menemui bunda,” katanya pelan.

“Karena Kakak menolak perjodohan dengan kak Andra?” Renata mengangguk. “Lagi pula kenapa ditolak Kak? Kakak kan suka juga sama kak Andra.”

“Dari mana kamu tahu?”

Jovanka mencibir. “Biarpun Kakak sembunyikan rapat-rapat, dan semua orang tidak ada yang tahu, tapi Kakak tidak akan bisa menipuku. Aku terlalu mengenal Kakak.”

“Kakak tidak bisa hidup dengan orang yang tidak mencintai Kakak. Andra punya seseorang yang dia cintai. Jadi lebih baik dia hidup dengan orang yang dia cintai dan mencintai dia kan? Lagi pula Kakak sudah membuang perasaan itu jauh-jauh. Kakak bahagia dengan hidup Kakak sekarang. Melihat kamu bahagia sekarang membuat Kakak lebih bahagia.”

♤♤♤

Kenan mengekori atasannya yang lebih tinggi dan mempunyai langkah yang lebih lebar darinya. Mereka berada di bandara King Abdul Azis Jeddah Arab Saudi, sedang menunggu pesawat yang akan membawa mereka ke Dubai. Atasannya sedang berjalan menuju ruang tunggu VIP.

Meskipun bukan musim haji, bandara ini luar biasa ramai. Kelihatannya ada rombongan dari PBB yang sedang transit juga di sini. Ia melihat banyak orang berseliweran dengan rompi dan tanda pengenal dari PBB.

Kenan sudah tertinggal jauh dari atasannya. Ia menggerutu. Ia memutuskan untuk tidak terburu-buru. Lagi pula pesawat mereka masih 30 menit lagi. Ia berjalan sambil memperhatikan sekeliling.

Pandangannya tertuju pada kelompok kecil yang berdiri sekitar 5 atau 6 meter darinya, terdiri dari 4 orang pria dan wanita. Mereka berdiri mengelilingi bawaan mereka yang diletakkan di lantai. Mereka bercakap-cakap dengan serius.

Tiba-tiba Kenan menghentikan langkahnya tatkala salah satu gadis di rombongan itu seolah dikenalnya.

Ketika itu salah seorang dari mereka menunjuk ke satu arah, lalu teman-temannya menengok ke arah yang ditunjuknya. Saat itulah gadis yang tadinya membelakanginya jadi terlihat profilnya dari samping.

Gadis itu satu-satunya yang tidak mengenakan atribut PBB. Dia mengenakan celana jins berwarna navy. Hem kotak-kotak biru mudanya melapisi t-shirt putih yang dikenakannya. Kakinya mengenakan boots pendek warna coklat. Ransel hitam tersandang di punggungnya. Rambut lurus sebahunya dibiarkan tergerai. Dia memakai topi warna navy.

Kenan tak mungkin salah mengenali profil itu. Akhir-akhir ini profil gadis itu mau tak mau menghantui hidupnya karena ulah bosnya.

Secepat kilat Kenan berlari mencari bosnya, menerjang apa saja yang menghalanginya.  Beberapa kali omelan ditujukan padanya karena kecerobohannya.

Di ruang VIP dilihatnya bosnya sedang duduk santai dengan ipad di tangan. Wajahnya serius. “Coba kalau tadi bos tidak buru-buru, pasti ketemu Nona Renata,” gerutunya.

“Tuan!” panggilnya. Wisnu mendongak, mendapati asistennya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.

“Kenapa kamu?” tanyanya sinis.

Kenan berusaha mengatur nafasnya. “Tuan saya melihat Nona Renata.”

Wisnu sontak berdiri. “Di mana kau melihatnya?” tangannya mencengkeram lengan Kenan.

“Di sana, bersama rombongan PBB Tuan!” Kenan meringis merasakan dadanya sakit karena harus mengatur nafas dan berbicara sekaligus.

Wisnu segera berlari keluar ruang tunggu itu. Dia memang melihat rombongan PBB itu tadi. Kenan mengikuti di belakangnya.

“Di mana?!” seru Wisnu pada Kenan.

“Di sana tadi Tuan!” jawabnya sambil menunjuk tempatnya tadi melihat Renata. Tapi tempat itu sudah kosong. Kelompok-kelompok lain dari rombongan itu pun mulai bergerak meninggalkan tempat itu.

Mereka melihat kemana rombongan itu bergerak. Rupanya pesawat mereka sudah akan berangkat. Mereka sedang menuju gate keberangkatan.

Wisnu segera berlari naik eskalator menuju gate yang dituju. Ia bahkan melompati beberapa telundakan seperti melompati anak tangga. Dari kejauhan ia mengenali gadis itu. Meskipun dari belakang dan dari kejauhan, ia tetap mengenalinya.

Wisnu ingin menerobos orang di depannya, tapi terhalang karena orang-orang di depannya membawa banyak bawaan. Ketika tiba di atas, gadis yang dicarinya sudah tak terlihat. Ia berlari, mencoba menyusul, tapi dihalangi petugas di situ. Dia bahkan disuruh minggir karena menghalangi rombongan di belakangnya yang akan lewat.  Gate itu memang dikhususkan untuk rombongan dari PBB yang akan diangkut dengan pesawat khusus.

Wisnu menyugar rambutnya kasar. Betapa dirasakannya jarak adalah nisbi. Dia berada di satu tempat dengan gadisnya, tapi tak bisa bertemu. Dia merasa lemas. Dipejamkannya matanya menahan sedih dan kesal, juga kecewa.

Dia mendekati salah satu rombongan yang datang terakhir.

Excuse me, rombongan ini akan kemana?” tanyanya.

“Kami ke Jerusalem sebelum meneruskan perjalanan ke Gaza,” jawab orang itu ramah.

“OK. Thankyou.”

Wisnu berbalik gontai. Dia mendengar pengumuman pesawatnya sudah siap. Dia menuju gatenya. Kenan sudah menunggu.

“Kenan, cari kemungkinan pergi ke Gaza dengan pesawat pribadi,” katanya dengan suara lirih ketika mereka sudah duduk di pesawat.

“Akan sulit mendapat ijin melintas Tuan. Di sana daerah rawan konflik. Apalagi sekarang konflik sedang memanas,” jawab Kenan.

Wisnu mendesah. “ Cari tahu mereka kemana lagi setelahnya. Kita akan
menyusulnya di tempat yang memungkinkan.”

“Baik Tuan.”

Kenan merasa kasihan kepada tuannya. Belum pernah Wisnu sekacau ini karena kehilangan. Bahkan saat dikhianati oleh Diana ia masih bisa tegar.

Sungguh suatu keberuntungan hari ini mereka tidak menggunakan pesawat pribadi sehingga nyaris bertemu Renata. Tapi hanya nyaris. Dan itu lebih menyakitkan bagi Wisnu.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang