Bab 22

235 31 0
                                    

Jovanka sangat bersemangat. Dia bangun pagi-pagi dan segera melakukan tugas-tugas rumah. Meskipun tinggal di rumah ayahnya sendiri, Jovanka sungkan untuk berpangku tangan. Berbeda saat tinggal dengan kakaknya dulu, ia lebih merasa tinggal di rumah sendiri. Di sini ia merasa menumpang. Bukan karena ibu tirinya tidak baik. Ibu tirinya baik. Hanya ia merasa ada jarak, tak bisa dekat.

Janet ibu tirinya menjenguk ke dalam kamarnya. “Jadi menemui kakakmu?”

“Oh ya!” jawab Jovanka riang. Ia banyak tersenyum. Janet jadi ikut tersenyum.

“Sarapan dulu Jo,” saran Janet sebelum berlalu.

Selesai sarapan Jovanka mencium adik-adiknya lalu mengeluarkan mobilnya dari garasi. “Setelah bertemu kakak aku langsung kuliah. Bye Janet!” pamitnya pada Janet. Janet dan adik-adiknya melambaikan tangan.

Renata berdiri di Merlion Park, ikon kota Singapura. Dia menunggu adiknya sambil memotreti turis-turis yang lalu lalang.

Tak lama yang ditunggunya datang. Mereka berpelukan penuh rasa rindu.

“Kakak aku kangen. Kenapa kakak tidak tinggal di sini saja? Kakak bisa tinggal sama bunda.”

“Jo...,” tegur Renata halus.

“Atau kita sewa apartemen berdua Kak. Jadi Kakak tidak perlu nomaden seperti ini.”

“Papamu akan menembak Kakak kalau kau berani keluar dari rumah itu.”

Jovanka meringis. Memang papanya akan memarahi kakaknya bila ia berani keluar rumah dan tinggal di apartemen. Sejak dulu jika terjadi apa-apa pada Jovanka, papa dan bundanya akan menyalahkan Renata. Karena itulah Renata tak mau bertemu papanya setelah perceraian papa dan bundanya.

Semiris itu nasib kakaknya, walau Jovanka tahu kakaknya seorang yang sangat baik dan sangat menyayanginya.

“Setelah ini Kakak mau kemana lagi? Berapa hari Kakak di sini?”

“Nanti malam Kakak sudah terbang ke New York. Kakak akan ikut ke Gaza lagi. Sesudah itu mungkin ke Ethiopia. Di sana ada konflik jadi butuh bantuan.”

“Kakak jangan suka ke daerah konflik! Aku takut Kakak celaka,” Jovanka memeluk kakaknya erat.

“Kakak akan hati-hati. Kamu doakan kakak ya.” Renata mencium adiknya. “Kakak janji akan sering-sering menjengukmu  di sini.”

“Janji?”

“Janji!” mereka menautkan kelingking lalu tertawa lepas. “Ayo kita foto Jo!”

Renata mengarahkan kamera kepada mereka berdua. Mereka berpose dengan berbagai gaya. Berdua mereka tertawa bahagia.

Wisnu berada dalam mobil mewahnya menuju ke kantornya, setelah rapat penting dengan pemerintah setempat. Ia melamun sambil memandang keluar jendela.  Memandangi turis yang lalu lalang.

Di depan Merlion Park jalanan agak padat. Mobilnya berjalan pelan. Entah mengapa ia ingin turun.

“Kenan, turunkan aku di sini. Aku ingin berjalan-jalan sebentar.” Kenan menghentikan mobilnya dan Wisnu turun.

Pria tampan itu berjalan di sekitar wilayah taman dan memandangi patung Sir Merlion.

Dia memperhatikan turis-turis yang berfoto dengan latar belakang patung.

Wisnu berjalan menurut kemana kakinya melangkah membawa kegundahannya. Ia memperhatikan turis-turis sambil lalu.

Wisnu mengangkat tangan kanannya, melihat arlojinya. Sebentar lagi waktu makan siang. Ia ada janji dengan paman dan sepupunya setelah makan siang. Wisnu melangkah sambil memandang tepian Singapore River. Dan langkahnya terhenti. Pandangannya terpaku di antara turis – turis yang sedang berfoto selfi. Di antara mereka ada yang sangat cemerlang menurutnya.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang