Bab 16

291 37 0
                                    

Renata tiba di bandara Syamsudin Noor Banjarmasin lewat tengah hari. Ia menyeka peluh di dahinya. Dalam taksi yang ditumpanginya, ia hanya memandang keluar jendela. Puluhan tahun tak mengunjungi kota ini, ternyata banyak perubahan yang terjadi.

Dalam perjalanan dari bandara menuju kota, ia tak lagi melihat jeda. Dulu paal 17 masih berupa sawah dengan sedikit bangunan, kini jadi kawasan padat bangunan.

Taksinya berhenti di depan sebuah rumah. Rumah kelahirannya dulu. Rumah itu masih sama dengan yang diingatnya, hanya catnya berbeda. Pagarnya yang terbuat dari kayu ulin, jembatan kayu kecil yang menghubungkan rumah dengan jalanan di depan, semua masih sama.

Setelah puas memandangi rumah itu, ia berlalu. Rumah itu sudah berganti pemilik. Ibunya menjual rumah itu ketika mereka meninggalkan kota itu.

Kini ia berada di sebuah kampung, sedang menapaki jalan kecil selebar tak lebih dari satu meter terbuat dari kayu ulin. Kadang ia harus memiringkan badannya bila berpapasan dengan orang lain. Kadang ia ditabrak oleh anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran.

Berulang kali ia harus berhenti untuk bertanya. Untunglah ini sebuah kampung yang warganya saling mengenal. Jika hanya mengandalkan ingatannya yang amburadul pasti ia hanya akan berputar-putar di kampung itu.

Terakhir ia bertanya pada seorang wanita yang sedang menjemur baju sambil menggendong seorang balita. Ia menanyakan orang yang dicarinya, bekas pengasuhnya dulu. Wanita itu menunjuk rumah di belakangnya.

Renata berbalik, melihat sebuah rumah panggung yang cukup tua. Di tangga depan rumah ada seorang wanita tua sedang duduk menunduk. Kelihatannya sedang menisik pakaian. Ia mendekat. Wanita itu sudah cukup tua, keriputnya sudah mulai banyak. Tapi Renata masih bisa mengenali bibirnya yang dulu suka tersenyum padanya dan menyenandungkan lagu-lagu melayu.

“Bibi!” panggilnya. Wanita itu mendongak memandangnya. “Bibi Rahma!”

“Siapalah?” tanyanya dengan logat melayu yang kental.

“Renata.”

“Masha Allah!” serunya sambil berdiri. Dilemparnya pakaian yang tadi ditisiknya ke sembarang arah. Ia menuruni tangga dengan terburu-buru lalu memeluk Renata. “Renata!” serunya.

Ia menarik Renata naik tangga rumahnya. “Ayo naik! Naik! Kita bicara di dalam.” Lalu sebentar kemudian berseru, “Bah! Abah! Lihat nah, siapa ini nang datang?!”

Seorang pria tua keluar. Pandangannya bertemu dengan Renata. “Abah Ilham,” sapa Renata. Ia meraih tangan tua itu dan menciumnya. Matanya berkaca-kaca. Bibi Rahma sudah menghilang ke dalam rumah.

“Abah, ini Renata.”

Lelaki tua itu terkejut. “Renata,” bisiknya dengan suara serak. Renata menangis haru. Abah Ilham dulu sopir keluarganya. Ia sangat dekat dengan Renata. Renata yang tak pernah mengenal sosok ayah mendapatkannya dari sosok Abah Ilham.

Kini mereka bertiga duduk lesehan di ruang tengah. Ada televisi 20 inchi sedang menyala. Renata memandang rumah itu. Rumah khas Banjar yang kuno namun nyaman. Jendelanya besar-besar membuat angin leluasa masuk.

“Kamu sudah besar Renata. Sekarang kamu cantik,” ujar bibi. Renata tersenyum. Tangannya menggenggam tangan bibi erat.

“ Abah sama bibi sehat kan?” tanyanya.

“Sehat. Cuma encok abah sering kumat,” jawab bibi.

“Oya, Siti mana bi?” Renata menanyakan Siti anak mereka. Siti lima tahun lebih tua dari Renata. Mereka dulu  sering bermain bersama. Siti sudah seperti kakaknya sendiri.

“Siti sekarang di Binuang ikut suaminya. Anaknya dua. Anaknya yang besar tinggal di sini menemani bibi dan abah. Sekarang dia baru mengaji. Sebentar lagi mungkin dia pulang.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang