“Dia memang jutawan aneh yang keras kepala,” gerutu Renata.
Dokter Chan tertawa kecil mendengar julukan yang diberikan Renata.
“Kelihatannya baru kali ini ada yang berani mencelanya dan memberinya julukan. Anda menaklukkan dia Nona,” kata dokter itu lagi.
Suara tawa dokter itu rupanya membangunkan Wisnu. Dia akan bangkit ketika Renata mencegahnya. “Tidak usah bangun. Biar dokter Chan memeriksamu juga.”
“Aku tidak apa-apa. Aku sudah cukup tidur,” elaknya.
Renata masih menahannya.
“Kau ini cemen sekali! Diperiksa dokter saja tidak berani,” ejek Renata. “Katanya kau akan menjagaku. Kalau kau sakit, siapa yang akan menjagaku?”
Wisnu mendengus, namun membiarkan dokter Chan memeriksanya. Ternyata dia memang hanya kelelahan dan dokter meresepkan vitamin untuknya.
Mereka berdua sarapan di tempat tidur dan sesudahnya tidur lagi. Perjalanan masih beberapa jam lagi. Diperkirakan lewat tengah hari mereka baru akan sampai. Sebelumnya mereka harus berhenti untuk mengisi bahan bakar. Saat itu semua penumpang turun kecuali Renata dan seorang perawat dan awak kabin tentunya.
Ketika tiba di pesawat lagi Wisnu memberinya beberapa majalah yang dibelinya di bandara. Majalah itu berbahasa Perancis karena saat itu mereka berada di bekas jajahan Perancis.
Renata sangat berterima kasih, meskipun ia tidak sempat membacanya selama perjalanan. Ia memang dibuat mengantuk agar lebih banyak beristirahat di perjalanan. Wisnu pun akhirnya lebih banyak tidur di samping Renata. Dia memang masih lelah.
Mereka tiba di Singapura sekitar waktu makan malam untuk waktu Singapura. Beda waktu Singapura dan Sudan 6 jam.
Renata langsung dibawa ke rumah sakit. Wisnu ikut dengannya meskipun Renata menyuruhnya pulang dan beristirahat.
“Pulanglah Wisnu. Istirahatlah! Aku tidak ingin melihat kau sakit,” katanya memaksa. Sialnya yang dipaksa keras kepala.
“Aku akan menemanimu. Aku akan tidur di kamarmu, juga bekerja dari kamarmu. Jangan kawatir. Aku pasti bisa tidur nyenyak.”
Memang Renata ditempatkan di ruang VVIP. Ruang itu sudah seperti hotel saja. Ada tempat tidur ekstra selain tempat tidur untuk pasien. Ditambah sofa yang juga bisa untuk tidur. Wisnu tersenyum penuh kemenangan ketika mereka masuk kamar itu. Renata tidak punya alasan untuk mengusirnya.
Dua hari berikutnya Renata hanya menjalani observasi. Operasi untuk mengatasi keretakan tulang pahanya akan dilaksanakan dua hari ke depan. Selama itu tidak ada yang menjenguk Renata. Wisnu merahasiakan keadaan dan keberadaan Renata. Mereka yang tahu diperintahkannya untuk tutup mulut.
Namun pada malam menjelang operasinya, Wisnu bertanya kepada Renata, “Apakah kau ingin ditemani seseorang saat operasi besok? Ibumu mungkin? Aku akan mengabarinya. “
“Tidak. Aku tidak menginginkan siapa-siapa. Kau saja sudah cukup,” jawabnya. Wisnu tersenyum senang mendengarnya. “Kabari Jovanka jika operasinya sudah selesai.”
Sejurus kemudian wajah Wisnu tampak serius.
“Renata,” mulainya. “Aku hanya menebak saja bahwa hubunganmu dengan ibumu tidak terlalu baik. Tapi biar bagaimana pun kau anaknya. Dia berhak tahu keadaanmu. Aku akan memberitahunya juga setelah operasimu selesai. Aku harap kau tak marah.”
Hening melingkupi mereka untuk beberapa saat. Renata tahu apa yang dikatakan Wisnu benar.
Karena Renata tak kunjung menjawab, Wisnu mendekatkan wajahnya. Mereka bertatapan dari jarak yang sangat dekat. Renata menatap netra indah Wisnu seperti terhipnotis.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA
FanfictionSeumur hidupku, aku hanya mengenal luka. Luka karena tidak diinginkan, luka karena diabaikan. Luka pertama ditorehkan oleh orang terdekatku, ayah dan bundaku....