KEZAN | [3]

5.3K 277 6
                                    



















Kasih emot sesuai mood kalian, ya!

















Sudah vote dan coment?


















Selamat membaca!❤️


















"Tibul!" teriak Jea ke segala sisi di rumahnya. Tibul, adalah kucing anggora berwarna putih salju, memiliki kalung pemilik berwarna lilac dengan liontin emas.

Tibul dia temukan di semak-semak belukar dalam keadaan terluka. Dulu, saat Jea masih kelas sepuluh. Jangan tanyakan mengapa dia menamai Tibul. Nama itu terlontarkan begitu saja saat melihat kucing itu pertama kali. Jea membawanya pulang karena dia menyukainya dalam pandangan pertama. Satu alasan itu sudah cukup mendeskripsikan semuanya. Dengan mendengar suara kucingnya saja sudah cukup membuatnya terhibur. Saat Tibul mengangetkannya dengan tikus yang dia temu entah dimana, lalu kecoa, dan juga cicak di mulutnya yang dia sodorkan kepada Jea. Awalnya Jea sedikit shock. Tapi lama lamaan dia jadi terbiasa dengan Tibul yang selalu memperlihatkan hasil tangkapannya kepada Jea. Dan Jea hanya membalas tepuk tangan dan mengelus kepala Tibul. Katakanlah dia aneh.

Jea meneriaki kucingnya, karena kucing itu sudah tidak ada sejak Jea pulang sekolah. Dimana Tibul, sih?

"Tibul." Suara Jea memelan, karena sudah lelah meneriakinya. Tak lama setelah itu, Jea segara membuka pintu rumahnya, bergegas keluar mencari Tibul dengan pakaian seadanya yang dia kenakan sekarang, celana jeans di atas lutut dibalutkan dengan Hoodie berwarna biru muda, dan memakai sandal swallow berwarna kuning.

Jea mencari dekat taman yang cukup luas di dekat perumahannya. Tibul memang tipe kucing yang tak bisa diatur, mainnya akan sangat jauh sekali, tak sekali dua kali dia begini. Pernah Tibul pulang ke rumah dengan keadaan tubuh yang sudah basah kuyup berbau got, ya ampun dia harus memandikannya dengan air kembang tujuh rupa agar wangi kembali.

Jea hampir meneriaki nama Tibul kembali, saat dia tak sengaja melihat sesosok laki-laki memakai kemeja navy polos dengan pergelangan kemeja yang digulung sampai ke siku, yang tengah menggendong Tibul, kemudian menaruh Tibul di pangkuannya.

Bukankah dia Kezan?! Ya ampun bagaimana dia bisa berada disini?! Kok bisa Tibul anteng sekali?! Padahal digendong anak tetangga saja Tibul langsung mencakar wajah anak tersebut yang menyebabkan luka di pipinya, membuat Jea harus meminta maaf dan segera mengobati lukanya.

"Tibul! Kemana aja, sih!" Jea memarahi kucingnya seperti emak-emak yang tengah memarahi anaknya karena pulang kemalaman.

"Oh, ini kucing lo? Tadi, gue nemu di sekitar sini," ujarnya, langsung menaruh kucing berbulu putih yang memakai kalung kucing berliontin lilac itu ke tangan Jea, dan kini Jea yang menggendong Tibul.

Jea mengangguk mengiyakan bahwa Tibul adalah kucingnya. "Terima kasih, udah nemuin." Jea mendongak dan menatap Kezan karena tinggi Jea yang hanya sebatas bahunya saja masa?!

Kezan hanya mengangguk.

"Kamu mau beli jagung bakar?" Jea melihat ekspresinya yang masih datar dan belum menjawab. "Maksudku jika ingin, tak jauh dari sana ada yang menjualnya, jadi kita bisa mengobrol sebentar," ucap Jea sebelum Kezan salah paham. Tetapi detik berikutnya Jea langsung merutuki dirinya karena telah berbicara tanpa pikir pikir dulu, apa yang ingin Jea bicarakan dengannya?!

"Oke," sahutnya singkat.

Jea segera berjalan disamping Kezan, dengan Tibul yang sudah tidak ada di gendongannya—bermain di taman dengan beberapa anak kecil.

"Kamu ... suka kucing?" Jea bertanya ragu. Hanya saja, aneh rasanya seorang Kezan menyukai kucing. Walaupun memang kucing adalah hewan yang paling imut sedunia.

"Bisa di katakan begitu," jawabnya.

Jea menjadi gugup karena harus berjalan berdua dengan Kezan yang irit bicara. "Sering ke sini?" Jea bertanya lagi.

"Nggak," jawabnya, singkat, padat, dan jelas.

Jea kemudian diam, karena tidak bisa memikirkan topik pembicaraan.

"Rumah lo di sekitar sini?" Kali ini, Kezan yang bertanya, membuat arah tatap Jea seketika menatap Kezan yang berada di sampingnya.

Jea mengangguk. "Iya."

Beruntung, tempat jagung bakar itu jaraknya hanya sebentar, membuat Jea dan Kezan tidak dilanda keheningan dalam waktu yang lama, walau banyak orang yang berlalu lalang karena ini di taman dan hari sudah begitu sore.

"Pesan dua jagung bakar," bukan katanya, tetapi kata Kezan. Lalu Kezan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu karena sudah melihat harga yang tertera di sana.

"Eh, biar aku aja," ucap Jea, buru-buru mencari uang dalam kantung hoodienya.

"Lo duduk aja," Nadanya terdengar seperti perintah.

Sebelum Jea hendak protes, Kezan sudah lebih dulu menggenggam tangan kanannya dan menuntunnya ke kursi taman yang tak jauh dari tempat jagung bakar itu berada, hanya berjarak tiga meter.

"Duduk, nggak usah protes," ujarnya, mendudukkan Jea di kursi taman bercat hitam pekat.

Jea melihat Kezan yang mengambil dua buah jagung yang sudah dibakar itu di kedua tangannya. "Terima kasih," ucap Kezan kepada paman penjual jagung bakar itu.

Ucapan terima kasihnya sangat sangat pilih kasih. Kenapa ke Jea tidak?

Entah kenapa Jea terus memperhatikannya. Mungkin karena pakaiannya yang tidak memakai seragam SMA atau karena pakaiannya sekarang yang benar-benar berbeda. Oke, ini opsi keduanya sama saja nggak, sih?

"Ambil," kata lelaki itu, menyodorkannya satu buah jagung bakar.

"Eh, iya. Sebentar uangnya akan aku kembalikan," ucap Jea kelabakan.

"Gue bilang nggak perlu, ngerti?" Kezan berkata dengan nada yang penuh penekanan di setiap katanya.

Jea menghela nafas, masalahnya ia orang yang tidak enakan. Tapi ya sudahlah. "Iya, ngerti. Makasih."

Jea kini menyantap jagung bakar yang dia pegang di kedua tangannya, dia kadang-kadang melirik Kezan yang berada sangat dekat dengannya.

KEZAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang