KEZAN | [22]

2.3K 143 0
                                    

"Alen! Vika!" seru Jea melambaikan kedua tangannya kepada mereka, sesaat setelah Jea melihat kedua temannya hendak memasuki gerbang sekolah.

Langkah mereka terhenti dan mereka berdua berbalik, sedetik kemudian mereka tersenyum hangat dan balas melambaikan tangannya kepada Jea. "Jea! Sini cepat!" ucap Alen dan Vika saling bersahutan.

Jea segera berlari kecil menghampiri mereka, dia berada di samping kanan Alen, sedangkan Vika berada di samping kiri Alen membuat perempuan maniak pink itu berada tengah-tengah mereka.

"Yuk ke kelas bareng!" semangat Alen dengan menggandeng tangan Vika dan Jea.

"Pelan-pelan dong jalannya!" ketus Vika saat Alen menarik tangan mereka berdua cepat.

Alen tertawa lalu memperlambat langkahnya. "Iya, iya." Tatapan Alen menatap ke arah Jea. "Lo nyadar nggak sih, kalau lo akhir-akhir ini jadi makin deket sama tuh cowok nakal," celetuknya tiba-tiba.

"Iya sih, menurut gue juga kayak gitu," ikut Vika.

Jea menatap kedua temannya horor. "Ih mana ada! Ini cuma gara-gara aku yang duduk semeja sama dia," ucap Jea meyakinkan.

"Oh iya sih, bisa jadi." Alen mengangguk-angguk. "Tapi menurut gue nih ya ... kayak ... ada bumbu-bumbu cinta gitu nggak sih?!" Alen kemudian menatap Vika, menyuruhnya membenarkan perkataannya.

Vika menoyor kening Lena. "Bumbu makanan kali, bumbu cinta apaan. Ih geli gue!"

"Ya emang Lo nggak ngerasa apa?" ucap Alen menatap Vika intens. Seperti berkata 'lo-cepet-iyain-ucapan-gue!'

"Iya juga, ya. Tapi ya biarin urusan mereka aja ... yang masih nggak peka-peka sama perasaan mereka berdua," ucap Vika, dia menatap Alen lebih horor 'udah-nih!'

"Perasaan apa sih! Nggak ada yang kayak gitu ... biasa aja!" Jea mendengus kesal.

Vika dan Alen tertawa lepas. "Ya udah ya, lo buruan masuk ke kelas, bye Jea!" ucap mereka berdua melambaikan tangannya dan bergegas berjalan lurus karena kelas IPA-3 yang masih berada di ujung lorong.

Jea segera memasuki kelasnya yang berada di sisi kanan, menaruh tasnya di kursi dan segera membuka tas sekolahnya hendak mengeluarkan buku pelajaran, tapi belum melakukan itu karena Jea yang melihat Kezan memasuki kelasnya dengan wajah yang sudah penuh luka.

Banyak pandangan dari mereka yang takut akan tatapan tajam dari mata hitam legam milik Kezan membuat mereka segera mengalihkan pandangannya dan tak mau melihat matanya ... atau sama saja mereka mencari masalah jika begitu.

"Kamu kenapa terluka lagi, sih?" Heran Jea saat melihat wajah Kezan yang penuh luka yang terdapat di pelipis kiri, di sudut bibirnya, dan bahunya yang tergores cukup parah.

Alih-alih menjawab atau merespon ucapan Jea, Kezan memilih untuk membenamkan kepalanya di meja.

"Ayo kita ke UKS, itu benar-benar parah tahu," ucap Jea yang berusaha menarik lengan Kezan menggunakan kedua tangannya.

"Ini nggak parah," katanya, masih ketus.

"Apanya yang tidak parah! Cepatlah, ini juga demi kesehatan kamh kok," ucap Jea protes segera menarik paksa tangan Kezan agar mau ke UKS.

"Sini cepat," titah Jea dengan mendorong punggung Kezan menuju kasur pasien yang telah disediakan di UKS.

Jea mengambil kotak obat yang disimpan rapi di lemari transparan yang terpampang jelas di rak pojok kanan. Segera ia membukanya, mengambil kapas menggunakan pinset dan alkohol untuk membersihkan lukanya terlebih dahulu.

Jea diam, ragu untuk mengatakannya.

"Kenapa?" tanyanya.

Jea menggigit bibirnya. "Itu ... bahumu ...," ucap Jea pelan.

Kezan tanpa aba-aba langsung membuka kancing seragamnya dan melepaskan seragam yang ia kenakan di hadapan Jea.

Hal tiba-tiba itu sontak membuat Jea terbelalak dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. "Oi!" teriak Jea kaget.

"Kenapa?"

"Kenapa kamu membuka seragam mu?!" ucap Jea kaget.

"Bukannya harus dibuka biar bisa diobati?" kata Kezan yang berbalik, menemukan Jea yang masih menutup matanya.

Menurutnya jika Kezan sudah memakai seragamnya kembali membuat Jea perlahan melepas tutupan pada matanya dan perlahan membuka matanya. Dan Jea sontak membulatkan matanya saat melihat Kezan yang sudah bertelanjang dada dengan dada bidangnya yang menampakkan roti sobek. Seketika pipi Jea memanas. Oke, sepertinya matanya sudah tidak suci lagi. Untungnya saja pintu UKS di tutup rapat. Entah bagaimana jika belum ditutup lalu ada murid berlalu lalang yang melihat hal ini.

Kezan terkekeh pelan. "Cepatlah, jadi di obati atau tidak?"

Jea berdecak. "Apa kamu semudah itu membuka seragam mu di hadapan orang lain?!" seru Jea seraya membuka kotak obat.

"Nggak, baru sama lo doang," kata Kezan kelewat santai.

Jea hampir terbatuk karenanya.

"Berbalik lah," kata Jea berusaha tidak menanggapi ucapan Kezan tadi. Jea yang sudah ada dikasur dengan Kezan yang sudah berbalik menjadikan Kezan memunggunginya. Walaupun Jea harus melihat punggung lebar Kezan tanpa balutan kali ini, tetapi Ini lebih baik daripada ia harus melihat dada bidang Kezan. Memikirkan itu, Jea jadi ingin memukul kepalanya sendiri.

"Kalau sakit bilang ya." Jea berujar pelan kepada Kezan, sebelum akhirnya ia menaruh tetesan alkohol di punggung Kezan, tidak ada reaksi yang ditunjukkan Kezan sebenarnya. Tapi entah kenapa jadi Jea yang ngilu.
"T-tidak sakit Ka?" ucap Jea.

"Tidak." Singkat, padat, dan jelas. Cukup untuk membuat Jea menghela nafas lega.

Jea kembali mengusap punggung Kezan dengan kapas menggunakan pinset, dilanjutkan dengan menaruh tetesan obat merah agar lukanya cepat menyembuh. "Kenapa kamu bisa seperti ini sih?" tanya Jea di sela-sela kegiatannya.

"Lo nggak perlu tahu," katanya singkat.

Jea memutar bola matanya malas. "Aku mau tahu."

"Nggak usah ikut campur," ucapnya.

"Melibatkan teman-teman mu? Seperti Heza, Rakan, Dean, dan Galang?" ucap jea benar-benar kepo.

Kezan menghela nafas kasar. "Iya."

"Bisa nggak kamu jangan terluka seperti ini lagi?" pinta Jea.

"Nggak janji," jawabnya.

"Kalau begitu, jika kamu terluka ... hanya aku yang boleh merawat mu, tidak boleh yang lain," ucap Jea asal.

Kezan tersenyum tipis, sebelum akhirnya mengatakan, "Iya, hanya lo, nggak bakalan sama yang lain."

KEZAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang