KEZAN | [21]

2.5K 154 4
                                    

Kezan mengantar Jea pulang kerumahnya. Di depan tampak mama Jea yang sedari tadi mondar mandir dengan handphone di telinganya, dan ekspresinya terlihat sangat panik.

Saat melihat anaknya sudah pulang, sontak Hairin menghampiri Jea dengan seragam yang terbalut jaket milik Kezan yang di pakainya. "Jea sayang? Kamu dari mana saja? Mama tau kamu bukan ke sekolah, kamu kemana? Mama khawatir dari tadi, mama udah telepon Alen dan Vika, tapi nggak ada yang tahu kamu dimana." Hairin segera mengambil Jea dari tangan Kezan, membawanya untuk masuk ke dalam rumah.

"Mama kok udah pulang? Bukannya masih lusa?" Jea kaget. Dia hanya tidak mau terlihat sangat menyedihkan di depan mamanya. "Makasih ya, kamu pulang aja, aku nggak apa-apa kok," Jea tersenyum ke arah Kezan, lalu masuk ke dalam rumah.

Hairin kemudian mendekat ke arah Kezan, lalu tersenyum. "Terima kasih ya Kezan. Tante nggak tahu kalau seandainya Jea beneran hilang dari jangkauan tante. Tante selalu khawatir sama Jea. Tante takut terjadi apa-apa dengan anak tante."

"Iya tante, saya harap Jea bisa terlepas dari bayang-bayang rasa bersalahnya, karena dia memang nggak ada salah dalam kejadian di masa lalunya," Kezan berucap tenang.

Hairin mengernyit. "Tante nggak ngerti. Maksud kamu ... Jea bersalah ... bersalah kepada siapa?"

****

"Jea sayang?" Hairin menghampiri anak semata wayangnya, dengan perasaan teriris, dan seperti di sayat-sayat. Bahkan, dia sama sekali nggak tahu bahwa anaknya selama ini hidup dengan perasaan bersalah kepada papanya. Dia nggak becus menjadi sosok mama untuk anaknya kan?

"Tumben ke kamar aku? Mama nggak ada kerjaan lagi di rumah sakit?" Jea tersenyum, tapi Hairin sangat tahu bahwa keadaan anaknya lagi nggak baik-baik aja.

"Kamu tadi kemana?" Hairin mengusap-usap rambut anaknya yang masih berbaring di kasur. "Jujur, mama nggak suka Jea bohong."

Jea menggigit bibirnya. "Aku tadi ... ke rumah papa."

Hairin menatap teduh mata anaknya. "Kenapa nggak ngajak mama? Biar kita sekalian jenguk papa tadi."

"Aku nggak mau ganggu kerjaan mama yang pasti banyak banget."

Hairin tertegun. "Mama jahat banget ya sampai nggak ada waktu buat Jea?"

Jea langsung terduduk dan menatap mamanya dengan sebal. "Mama ngomong apaan, sih? Aku tau kok mama sibuk karena harus ngurus aku sendirian."

"Maafin mama, ya?"

"Buat apa ma?"

"Buat semuanya." Hairin tersenyum kepada Jea yang menatapnya bingung. "Jea jangan merasa bersalah kepada papa. Jea tahu kan kalau papa akan marah sama Jea kalau tahu anaknya ternyata nggak hidup dengan baik."

"Aku bukan cuma ngerasa bersalah sama papa. Aku juga bersalah sama mama. Karena aku, mama harus kehilangan sosok yang mama cintai. Aku bukannya nggak tahu kalau mama setiap malam selalu nangis sambil meluk foto papa, Jea tahu ma. Jadi, yang harus minta maaf itu Jea, bukan mama."

"Mama nangis setiap malem tuh ... ya karena mama hanya kangen sama papa kamu, tapi mama tahu papa nggak akan pernah ninggalin kita berdua." Mama menepuk-nepuk pelan punggung Jea yang kini berada dalam dekapannya. "Dan mama nggak kehilangan sosok yang mama cintai. Karena kamu ... kamu sosok yang mama cintai sekarang. Jadi, anak mama nggak boleh hidup dalam penyesalan lagi, oke? Karena mama dan papa nggak akan suka." Mama memeluk Jea erat, dan ... Jea menangis kencang. "Sekarang, mama janji akan buat Jea bahagia."

****

Baru saja bel pulang berbunyi, Jea yang hendak menuju gerbang sekolah pun terhenti karena handphonenya berdering. Buru-buru dia mengangkat dering ponsel tersebut dan terdengar suara dari seberang sana.

KEZAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang