58. мємυℓιн

29 5 0
                                    

"Manjiro..."

"Um?"
"Maaf..." Rei menundukkan kepala.
"Untuk apa, sayang?" Mikey memperkecil jarak diantara mereka.

Rei mengangkat sedikit kepalanya untuk menatap Mikey. "Untuk semuanya. Aku sudah banyak berbohong kepadamu... Bahkan menyakitimu. Aku merasa tidak pantas kau jadikan kekasihmu lagi Manjiro. Aku tidak pantas menjadi seseorang yang patut kau cintai."

Mikey menatap Rei sejenak. "Jangan berbicara seperti itu, Miya. Aku mengerti akan semua yang kau lakukan. Aku paham itu."

"Aku masih mencintaimu, Miya. Sangat-sangat mencintaimu." Mikey menarik pelan tangan Rei dan menciumnya lembut.

"Kita akan selalu bersama. Tidak akan ada yang memisahkan kita berdua." Mikey memberikan senyuman terbaiknya pada gadis yang matanya mulai berkaca-kaca.

Rei memeluk Mikey erat-erat. Air matanya tidak terbendungi. Ia sangat menyesal pada kesalahan-kesalahan yang ia buat selama ini.  "AKU MENYESALI SEMUANYA, MANJIRO! MAAFKAN AKU!"

"Sudahlah Miya. Jangan menangis." Mikey menepuk-nepuk pundak Rei guna menenangkannya. Ia tak melepaskannya hingga gadis itu merasa lebih tenang. 

Disela-sela itu, Mikey merasa seakan orang yang ia peluk bukanlah gadisnya, melainkan seorang cowok. Sebab rambut Rei sangat pendek saat ini. Mikey tertawa kecil akan hal itu.

Kini gadis itu berhenti menangis. Tapi ia tetap ingin memeluk laki-laki itu. Rasanya sangat hangat dan memenangkan. Seperti rumah yang di dambakan.

Rei langsung melepaskan pelukannya dan menunjukan wajah datar pada Mikey. "Kemarin saat kalian ingin tawuran, kau memanggil ku dengan nama Rei."

"Eh? Benarkah?"
"Ya! Aku sangat ingat itu!" Rei tidak merubah ekspresinya.
"Oh... Maaf soal itu. Aku tidak sengaja. Mungkin... Aku terbawa emosi." Sekarang malah Mikey yang menunduk maaf.

"Itu salahku. Aku membuat kau marah. Dan... " Mikey menoleh untuk mendengarkan penjelasan Rei.

"... Itu cukup untuk mengaktifkan amarahku."

Mikey tertegun mendengarkannya. 'Amarah Rei sekuat itu. Baru saja aku memanggilnya bukan dengan panggilan sayang. Ia sudah mampu menghabisi 300 orang hanya dengan tangannya sekaligus. Bagaimana jika orang yang ia sayangi tersakiti. Pasti lebih menyeramkan.' Batin Mikey.

"Miya..." Mikey menatap Rei dalam-dalam. "Jangan gunakan itu untuk membunuh. Cukup untuk melindungi diri saat aku tidak bersamamu."

Rei mengangguk paham. Ia tahu laki-laki itu sangat mengkhawatirkan dirinya. "Tentu saja... Sayang."

Mikey tertawa manis setelah mendengar Rei memanggil dirinya dengan sebutan 'sayang'. Lalu memeluk erat tubuh gadis itu.

...

Seiring berjalannya waktu, Rei semakin membaik. Ia merasa lebih bahagia karena sudah benar-benar berada dirumah yang ia dambakan. Rumah yang hangat, keluarga yang bahagia, teman-teman yang selalu mendukungnya. Rei sangat mencintai semua orang di sekitarnya.

Soal Aika, gadis yang satu ini sementara waktu tinggal bersama neneknya karena belum ada biaya untuk pulang. Lagi pula, neneknya sedang sakit, jadi Aika harus merawat neneknya hingga sembuh.

Ayah juga mengetahui ini, ia mentransfer uang sedikit demi sedikit kepada Aika supaya bisa membawa nenek berobat. Komunikasi pun terus dilakukan lewat telefon.

Keadaan ekonomi Rei mulai memasuki tahap stabil, sang ayah mulai mendapatkan pekerjaan kembali. Rei juga melanjutkan pekerjaannya sebagai penulis artikel. Sedikit demi sedikit uang mulai terkumpul untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk diam-diam mengganti rugi semua barang yang sudah ia curi dari berbagai toko. 


Hari ini Rei sedang bermain dengan para kapten di markas rahasia Touman. Kapten lain sedang main kartu didalam, sedangkan Rei diluar markas main bottle flip dengan pachin yang untung-untungan memenangkan pertarungan kartu duluan.

Pachin terus berusaha melemparkan botol ke atas balok panjang yang bergantung horizontal diatas balok lain setinggi 4 meter. Namun usahanya selalu gagal, Sampai-sampai ia emosi karena tak bisa membuat botol itu berdiri tegak diatas balok.

"Berikan botol itu padaku. Sekarang giliranku." Rei meminta botol itu. Sedangkan Pachin memberikannya dengan rada emosi.

"Cih..." Pachin kesal sendiri akibat tidak bisa memenuhi ekspetasinya.

"Tenang saja, bang Pachin. Aku bisa membuatnya bertengger diatas balok itu."

"HAHA... Kalo kau memang bisa, aku akan membelikanmu apa pun yang kau mau, Miya." Draken yang baru selesai bermain keluar nimbrung bareng Rei dan Pachin. Ia jongkok menonton pertunjukkan dadakan itu.

Rei menerima tawaran itu dengan senang hati. "Baik.. Aku terima."

"Kalau tak bisa... Kau jamin aku, Draken!" Ucap Pachin sepihak.
"Enak saja."

Rei melihat botol itu ditangannya. Lalu menoleh tiang balok itu penuh perhitungan. Ia mengayunkan botol itu, lalu menurunkannya lagi. Ia ayunkan lagi... Dan menurunkannya lagi.

"Kau ini bisa tidak sih? Sini berikan kepadaku. Biar aku saja." Tagih Pachin yang tidak sabar ingin bermain.

Rei mengayunkan botol itu untuk terakhir kalinya ke atas balok, dan... Drapp...
Botol itu bertengger sempurna diatas balok setinggi 4 meter. Pachin tercengang melihat Rei yang mampu melakukan itu dengan mudah. 

"HAH??? BAGAIMANA KAU MELAKUKANNYA ??!!!"

"Hitung volume air dan botol. Dari situ kau dapat menyimpulkan berapa berat yang kau dapatkan dari air."

"Kemudian hitung tinggi, lebar dan panjang dari balok yang menjadi tempat mendaratkan botol juga perlu. Supaya kita dapat melihat seberapa besar peluang yang didapatkan untuk membuat botol dapat mendarat. Setelah itu baru kita perhitungkan kecepatan serta gravitasi yang akan dilewati oleh botol. Begitulah caranya.." Rei menoleh ke arah Pachin yang ternyata semakin bengong.

"K-kau ngomong apa sih?" Pachin tidak mengerti.

"Ohh... Fisika ya?" Chifuyu bersama yang lain ternyata sudah nimbrung dari tadi menyaksikan Rei bermain bottle flip.

"Haha... Ku rasa."
"Kau menghitung semua itu hanya dalam beberapa detik, Rei?" Tanya Draken yang ternyata juga tercengang.

"Hehe... Aku hanya ngarang kok. Tadi kebetulan saja aku bisa mendaratkan botolnya disana." Rei tertawa receh.

'Orang yang enak diajak bicara seperti ini adalah Kisaki. Tapi... Dia tidak di sisiku..." 

"... Melainkan disini. " Rei menyentuh dada kirinya.


"Hoi... Rei... Besok kau kesekolah, kan?" Tanya Baji yang sedang menyisir rambutnya yang panjang.

"Yup. Tapi... Apa kalian punya seragam? Seragam sekolah ku sudah terbakar."

"Hah? Kau ingin meminjam seragam laki-laki? Kenapa tidak tanyakan pada Emma, Hina, Senju atau Yuzuha saja?" - Mikey.
'Astaga, ada apa dengan kepala ku. Bagaimana kau bisa lupa kalau aku juga punya teman perempuan.' Batin Rei sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kalau tidak salah sekolah masih menyediakan stok seragam. Besok pagi mungkin bisa kau tanyakan pada guru, apakah masih ada stok atau tidak." Saran Mitsuya.

"Ide bagus. Besok akan ku tanyakan. Tapi... "
"Tapi kenapa?" Tanya Mikey.

"Tak mungkin aku datang ke sekolah menggunakan baju bebas. Boleh pinjam baju olahragamu Manjiro?"

"Haha... Boleh saja."

IMPOSTOR (END) - Another Story From Tokyo ManjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang