18. Dream

53K 7.7K 243
                                    

Ruangan dengan minim pencahayaan, berisi dua anak kecil berjenis kelamin perempuan yang sedang nyaman dalam tidurnya. Sebelum salah satu dari anak kecil tersebut terbangun akibat suara dari luar kamarnya.

"Kakak.." panggil si kecil yang terbangun lebih dahulu, menggoyangkan tubuh sang kakak agar terbangun.

Melenguh pelan, akhirnya sang kakak terbangun. Ia melihat kearah adiknya yang tengah memasang raut wajah takutnya.

"Kamu kenapa?" Khawatirnya.

Akhirnya si kecil menangis sembari memeluk sang kakak. "Takut.. adek takut. Mama.. papa.." Ucapnya ditengah isakan.

Sang kakak mengerti apa yang adiknya ucapkan, ia turun dari kasurnya dengan sang adik yang tetap memeluknya.

Dibukanya pintu kamarnya sedikit, suara teriakan dan bentakan terdengar jelas dari ruang tamu yang berada tepat di depan kamarnya.

Nafas anak perempuan yang paling tua itu tercekat, matanya memerah dengan cairan bening yang berada di pelupuk matanya.

Kehancuran keluarganya. Sudah dua Minggu sejak kejadian itu. Ayahnya yang brengsek dan ibunya yang pemarah.

Mereka sudah saling membenci satu sama lain, lantas kenapa masih bertahan? Untuk apa mereka bertahan dengan rasa sakit dan benci? Bukankah itu hanya akan berujung dengan sia-sia?

Anak kecil berumur sembilan tahun yang kebahagiaannya direnggut oleh kedua orang tuanya. Hanya memiliki satu orang untuk menjadi tujuan hidupnya, adiknya sendiri.

"Kenapa mereka bertengkar seperti itu?" Adiknya bertanya, dengan wajah yang sudah terlihat begitu menyedihkan. Adiknya pun yang berusia dua tahun lebih muda darinya, harus memiliki masa kecil yang buruk.

Sang kakak hanya tersenyum tipis. Menutup pintu kamarnya rapat-rapat lalu mengusap kepala sang adik penuh kasih sayang.

"Mereka hanya sedang bertengkar biasa, itu bukan apa-apa kok. Nanti juga mereka baikan lagi," Ia berusaha menenangkan adiknya.

Walaupun ia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.

Karena, keadaan membuatnya harus bersikap dewasa bahkan pada saat belum waktunya.

*BRAK!!

Daiva terbangun dengan pelipisnya yang dibanjiri oleh keringat dingin. Pundaknya bergetar, ia meremas lengannya berusaha menahan isakannya untuk tidak keluar.

Ia terduduk di lantai akibat terjatuh. Tak mempedulikan lantai kamarnya yang dingin, Daiva menangis dalam diam, menunduk dalam-dalam dan hanya dapat terlihat bahunya yang bergetar.

Itu memorinya, memorinya di kehidupan lama saat dia masih berusia sembilan tahun. Anak kecil perempuan yang terpaksa bersikap dewasa pada saat belum waktunya.

Sekuat apapun dirinya, namun apabila ingatan masa lalunya hadir, dirinya akan terlihat seperti perempuan yang rapuh. Karna Daiva hanyalah manusia biasa yang pastinya memiliki kesedihan tersendiri.

Ia ingat, bagaimana ayahnya berkata bahwa ia memiliki anak dari wanita lain di depan dirinya dan ibunya. Ia juga ingat bagaimana ibunya berkata bahwa ia memiliki selingkuhan yang bahkan sudah memiliki tiga istri.

Kenapa orang tuanya brengsek? Apakah mereka tidak bisa mencontohkan hal baik pada anaknya? Kenapa mereka hanya menorehkan luka pada hatinya?

Orang tuanya itu, mereka sudah tidak memiliki rasa cinta dalam hati mereka satu sama lain. Lantas kenapa harus tetap bertahan hanya dengan alasan klasik agar kedua anaknya tetap bisa merasakan kasih sayang? Dia sudah tidak membutuhkan rasa kasih sayang dari orang tuanya. Mereka hanyalah manusia yang ingin ia hindari.

ANTAGONIST WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang