20. Not Ready

42.1K 6.1K 131
                                    

Tepat setelah pengakuan Gideon, Daiva melepaskan tangan Gideon yang menangkup wajahnya. Ia menunduk, entah kenapa air matanya meluncur begitu saja.

“Gideon..”

Jelas Gideon panik, Daiva menangis dan ia tidak bisa menenangkan orang yang menangis, jadi ia harus apa?

“Apa perkataanku menyakitimu?” Ia kembali memeluk Daiva sembari mengusap rambutnya penuh kelembutan, dalam hati ia cemas sendiri dan merasa begitu bodoh karena dengan mudahnya mengeluarkan isi hatinya juga lancang mencium bibir Daiva.

“T-tidak.. hanya saja, apakah aku termasuk sebagai pelakor? Aku tahu bahwa Kanaya sudah bersama dengan Arta, dan aku juga sudah tidak bergantung lagi pada alur novel. Namun aku tidak tahu bagaimana masa depan, bagaimana kalau Tuhan marah karena alur ini telah berubah drastis dan akhirnya memberiku hukuman? Juga.. aku belum pernah merasakan yang namanya cinta, lantas bagaimana aku harus membalas perasaanmu?” Tangisan Daiva semakin kencang, otaknya dipenuhi pikiran negatif, yang membuat Gideon meletakkan tubuh Daiva diatas pangkuannya, mengecup kedua mata Daiva seraya menghapus air mata yang masih membekas di pipinya.

“Perasaanku ini terjadi karena aku terbiasa. Jadi, kamu tidak perlu bersusah payah untuk membalas perasaanku. Cinta datang karna terbiasa,”

Mata mereka saling bertabrakan, Gideon mendekatkan wajahnya pada Daiva, sedangkan Daiva menutup matanya takut-takut. Hampir saja bibir Gideon menyentuh bibir Daiva sebelum pintu kerjanya terbuka dan menampakkan anak kecil yang tengah memandang mereka bingung.

“Mama, papa? Kalian lagi apa?” Itu Hazel, memakai pakaian tidur berwarna biru muda yang di hiasi dengan gambar anjing juga musik.

Dibelakangnya terdapat Rossa yang sedang membungkukkan badannya berkali-kali. Merasa bersalah karena tidak bisa menggagalkan aksi Hazel yang mengganggu waktu romantis kedua majikannya.

Wajah Daiva merah padam karena malu, sedangkan Gideon hanya menatap kepala pelayan mansionnya dan anaknya dengan datar.

Daiva turun dari pangkuan Gideon dan malah menghampiri Hazel, membuat Gideon mencebikkan bibirnya.

“Anak mama kok pake baju tidur, sih? Sekarang kan sudah siang,” Daiva mensejajarkan tubuhnya dengan Hazel, mengusap surai abu itu hingga berantakan dan mencium pipinya gemas. Kapan coba Daiva berjiwa Asha ini pernah tidak gemas pada Hazel? Daiva yang asli saja sebenarnya selalu gemas dengan Hazel.

“Ini kan baju tidul yang mama beliin waktu ke mall! El mau pake baju ini soalnya lucu, boleh kan ma?” Mata bulatnya itu menatap sang ibunda dengan berbinar, mengedip beberapa kali sehingga Daiva tidak kuat.

Sekuat apapun mental Daiva, ia akan langsung meleleh oleh tingkah laku Hazel.

Terkekeh pelan, Daiva mengangguk lalu menggendong tubuh mungil Hazel, keluar dari ruangan kerja, meninggalkan sang suami yang sedikit kecewa karna tidak bisa mencium bibir manis Daiva lagi.

Entah kemana Daiva membawa Hazel pergi, kaki jenjangnya itu terus melangkah tanpa henti mengelilingi mansion sampai sang anak terlihat jenuh.

“Mama, kita mau kemana sih?” Gerutu si mungil.

“Entah,”

Jawaban yang singkat nan padat itu membuat Hazel kesal, ia memukul pundak ibunya dengan keras, sampai berhasil membuat Daiva mengaduh kesakitan, pukulan Hazel tidaklah main-main!

Daiva bingung harus kemana. Sedari tadi ia hanya berjalan tanpa tujuan adalah untuk mengurangi rasa malunya. Malu karna menangis di depan Gideon, dan malu karna first kiss nya diambil oleh Gideon.

Brengsek!

Ia tahu kalau Daiva yang asli itu memang sudah lama first kissnya diambil, namun dia, di kehidupan lamanya tidak pernah berciuman dengan siapapun dalam kata lain mulutnya masih perawan. Sampai ia berpindah jiwa pun, ia tidak pernah berciuman. Dan ini? Gideon dengan seenak hatinya malah mencium bibirnya!

“Daiva,” Suara berat itu membuat menoleh kebelakang, mendapatkan seorang pria berjas hitam yang tengah memandangnya datar.

“Kak Adrian?”

Kenapa kakaknya ada di mansion?

“Paman!” Hazel berseru senang, turun dari gendongan Daiva dan memeluk kaki sang paman dengan raut wajah senangnya.

“Ah, Hazel. Sudah lama kita tidak bertemu, ya,” Adrian mengusap lembut kepala Hazel.

“El ingin es klim!” Pinta Hazel tanpa tahu malu. Membuat Daiva yang berada di belakangnya harus memalingkan wajahnya, dia yang malu, sungguh.

Adrian menatap adiknya bingung lalu menatap keponakannya. “Apakah ibumu tidak mengizinkanmu membeli es krim?”

“Mama bilang tidak boleh. Nanti gigi El ada lubangnya!” ucap Hazel, ia menatap ibunya penuh permusuhan, lalu menatap pamannya dengan penuh permohonan.

“Paman.. pleasee?”

Ugh, lelaki mungil berpipi bakpau itu memandang Adrian dengan sorot matanya yang memohon, ditambah kedua tangannya yang ditempel menyatu.

Daiva melihatnya sekilas, otaknya dipenuhi fantasi liar.

Membayangkan Hazel adalah manusia kucing, dengan telinga kucing dan ekor panjangnya yang menjuntai, memohon pada sang majikan untuk mengabulkan permintaannya.

“Terima saja permintaannya kak, aku tidak kuat melihat Hazel selucu itu,” Saran Daiva tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Adrian.

Sedangkan Adrian, ia dengan tergesa-gesa mengambil tisu dibalik jas kerjanya. Memunggungi Hazel lalu mengelap hidungnya yang mengeluarkan darah. Setelah beberapa saat, ia berbalik kembali dengan wajah datarnya. Mengangguk lalu menggendong Hazel menuju luar mansion.

Meninggalkan Daiva yang tengah menghela nafasnya lega.

“Ya Tuhan, aku jantungan melihat wajah imut Hazel..” Ia mengusap dadanya, melirik sekitar yang sepi lalu memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

–[]–

Adrian dan Hazel kali ini sedang berada di mobil milik Adrian, perjalanan antara sang paman dan keponakannya itu tidak ada yang namanya keheningan. Karena sedari tadi Hazel tidak berhenti-henti nya berbicara, namun yang selalu ia bicarakan adalah ibunya, Daiva.

Entah dari memuji sampai membicarakan tentang kelakuan Daiva di mansion.

“Paman tau? Mama tadi berduaan sama papa! Kila-kila meleka lagi ngapain, ya?”

Adrian yang fokus pada kemudinya, menoleh. “Memangnya apa yang mama dan papamu lakukan?”

Mata Hazel membola keatas, ia memasang ekspresi berpikir, sebelum kemudian ia menatap kembali pamannya. “Mama.. ada di paha nya papa! Wajah mama sama papa juga deket banget..”

Tubuh Adrian menegang, ia tetap fokus pada kemudinya dan jalanan, demi terhindar dari tatapan Hazel yang bertanya-tanya.

“Paman.. kenapa gak jawab Hazel?!” Mata berwarna merah yang bulat itu terlihat berair, namun Adrian tidak mempedulikannya.

Di otaknya hanya memikirkan bagaimana keponakannya itu bisa sangat menggemaskan?! Apakah Gideon dan Daiva menggunakan ritual khusus ketika membuat Hazel?

“Hazel, berhenti membuat wajah sedih. Kita sudah sampai,” Adrian memandang wajah Hazel yang terlihat sedih karena pertanyaan tidak dijawab sama sekali oleh sang paman, namun raut wajah tersebut hilang. Berganti menjadi raut wajah senang.

Hazel menatap kearah luar jendela, mobil milik sang paman berhenti di parkiran minimarket. Membuat Hazel bersorak senang. “El ingin beli es yang banyak!”

Yah.. lebih baik mengangguk saja sebelum diserang oleh tatapan maut milik Hazel.

TBC.

ini kayaknya bakalan aku unpub deh ceritanya...

ANTAGONIST WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang